Beirut (ANTARA) - Beirut adalah kota yang menampakkan lukanya secara nyata. Saat menyusuri banyak jalan di ibu kota Lebanon itu, jejak-jejak pertempuran lama masih dapat terlihat: lubang-lubang peluru dari perang saudara yang berakhir lebih dari tiga dekade lalu, atau fasad-fasad bangunan yang hancur akibat konflik dengan Israel baru-baru ini. Namun, tidak ada kehancuran sejelas, atau seberat, kerusakan yang ditinggalkan oleh ledakan di pelabuhan kota itu lima tahun lalu.
Anda bisa menyusuri distrik pusat kota yang trendi, melewati gedung-gedung tinggi yang berkilau dan kafe-kafe tepi jalan yang menyerupai kafe-kafe di sebuah ibu kota di Eropa. Namun, jika Anda mengalihkan pandangan ke arah garis pantai, maka Anda akan melihat sebuah pelabuhan yang hancur, yang didominasi oleh silo (bangunan untuk menyimpan bahan pangan) gandum. Dalam kondisi rusak dan miring tetapi entah bagaimana masih berdiri setelah mengalami ledakan, silo itu seakan menantang gravitasi dan waktu, mengawasi kota dalam keheningan yang mencekam.
Pada 4 Agustus 2020, hampir 3.000 ton amonium nitrat yang disimpan di pelabuhan itu meledak. Ledakan tersebut menewaskan lebih dari 200 orang dan melukai ribuan lainnya, serta merobek jantung kota Beirut. Ledakan ini tercatat sebagai gempa bermagnitudo 3,3 dan disebut-sebut sebagai salah satu ledakan nonnuklir terbesar dalam sejarah manusia.

Dari apartemennya yang menghadap ke pelabuhan, Rima Hocheimy tidak dapat memandang ke arah silo itu tanpa merasa sesak. Silo itu mewakili banyak hal secara bersamaan: monumen dan rasa sakit, tameng dan bekas luka. Pihak berwenang mengatakan hampir 8.000 bangunan rusak, sementara puluhan bangunan bersejarah kini berisiko runtuh. Upaya rekonstruksi telah berjalan di beberapa tempat, tetapi kekurangan dana, ketidakstabilan yang sedang berlangsung, dan sederet penghalang lainnya menghambat upaya tersebut di setiap kesempatan.
Ledakan hari itu menghancurkan rumahnya, menghamburkan kaca dan serpihan kayu, meruntuhkan suasana sore yang damai menjadi situasi yang jauh berbeda. Ibu dan putranya, Elia, terluka. Namun, dinding-dinding besar silo yang dibangun untuk menyimpan biji-bijian itu menyerap sebagian besar kekuatan gempa, melindungi separuh kota dari kehancuran yang lebih parah. Para ahli kemudian mengatakan bahwa tanpa silo tersebut, kerugian yang dialami Beirut akan lebih besar lagi.
"Saya tidak tahu apa yang saya rasakan tentang silo itu," kata Rima, sambil memperhatikan Elia yang bermain dengan tenang di dekatnya. "Silo itu selalu mengingatkan saya pada kengerian yang kami alami. Namun, saya juga tahu bahwa silo itu menyelamatkan keluarga saya. Saya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi tanpa silo itu."
Saat itu Elia baru berusia empat tahun, dan trauma yang dialaminya bertahan selama berbulan-bulan. Dia kerap terbangun dari mimpi buruk, mengompol, dan tak mau melepaskan ibunya karena takut akan kegelapan. Bahkan sekarang, di usia sembilan tahun, Elia sensitif terhadap suara keras dan kecemasannya meningkat setiap ada kegaduhan, yang sebenarnya merupakan pemandangan sehari-hari di Beirut.
"Ketika serangan Israel terjadi tahun lalu, semua pesawat, drone, dan bom memunculkan kenangan buruk baginya," tutur Rima.
Dia dapat memahaminya. Lahir pada masa perang saudara di Lebanon, dia menghabiskan hidupnya untuk bersiap menghadapi kehancuran demi kehancuran. "Rumah kami dibangun kembali, tetapi keamanan tidak pernah kembali. Beberapa luka tidak pernah sembuh," katanya.
Seperti keluarga Rima, seluruh kota masih terjebak di antara pemulihan dan trauma. Lima tahun setelah kejadian itu, Beirut masih terombang-ambing di antara kemajuan dan pengabaian. Di satu blok, Anda bisa melihat bangunan yang baru saja direstorasi, dengan dinding yang tampak cerah dan baru. Tepat di sebelahnya, sebuah rumah berdiri di tengah reruntuhan, jendela-jendelanya pecah dan terlupakan.
Pihak berwenang mengatakan hampir 8.000 bangunan rusak, sementara puluhan bangunan bersejarah kini berisiko runtuh. Upaya rekonstruksi telah berjalan di beberapa tempat, tetapi kekurangan dana, ketidakstabilan yang sedang berlangsung, dan sederet penghalang lainnya menghambat upaya tersebut di setiap kesempatan
Persoalan akuntabilitas bahkan lebih buruk lagi. Lebih dari sekadar kecelakaan, ledakan tersebut merupakan konsekuensi dari pengabaian dan kegagalan institusional selama bertahun-tahun. Ribuan ton bahan kimia berbahaya teronggok di pelabuhan selama bertahun-tahun, diabaikan oleh para pejabat di berbagai lembaga. Semua orang tahu, tetapi tidak ada yang bertindak. Sampai hari ini, tidak ada yang bertanggung jawab.
Penyelidikan berulang kali terhenti karena adanya interferensi politik, gugatan hukum, dan pemecatan hakim-hakim yang memimpin penyelidikan. Keluarga korban pun masih menunggu jawaban.
Kepercayaan terhadap pemerintah hancur bersamaan dengan jendela-jendela pada sore hari di bulan Agustus itu. Para pemimpin menjanjikan keadilan, tetapi para pengamat dan kelompok akar rumput bersikeras bahwa hanya penyelidikan yang adil dan independen yang dapat mulai menutup luka.
Menjelang peringatan lima tahun insiden tersebut pada musim panas tahun ini, nama sebuah jalan di dekat pintu masuk pelabuhan itu diganti menjadi Jalan Para Korban 4 Agustus. Berdiri di sana di antara kerumunan orang, saya melihat wajah-wajah yang dipenuhi kesedihan tetapi bersinar dengan tekad yang kuat. Kehadiran mereka dalam keheningan menunjukkan luka yang belum sembuh serta tekad yang tak luntur untuk menuntut pertanggungjawaban.
Silo itu masih tetap berdiri. Pada 2022, pemerintah mengumumkan rencana untuk menghancurkannya karena alasan keamanan, tetapi reaksi keras dari keluarga korban memaksa adanya penangguhan. Bagi mereka, silo itu harus tetap ada, menjadi sebuah tugu peringatan sekaligus reruntuhan. Para insinyur memperingatkan bahwa bangunan itu bisa runtuh kapan saja. Namun, bangunan itu tetap berdiri.
Mungkin bangunan ini menunggu Lebanon memutuskan cara untuk menghormati para korban yang tewas, bagaimana membangun sesuatu yang lebih kuat dari reruntuhannya. Mungkin kita semua juga begitu.
Pewarta: Dana Halawi / Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.