Liputan6.com, Jakarta - Perilaku toxic sering kali tidak disadari. Padahal, dampaknya bisa sangat merusak kesehatan mental maupun fisik. Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Hilda Marsela, Sp.KJ, perilaku toxic sebenarnya bukan soal 'orangnya', melainkan efek yang ditimbulkan dari interaksi tersebut.
"Sebenarnya toxic itu bukan tentang orangnya, tetapi apa dampaknya. Dari interaksi orang-orang di dalam itu dampaknya gimana terhadap kita. Apakah dampaknya positif atau negatif," kata Hilda dalam Talkshow Warasnya di Tengah Kerasnya Hidup dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia melalui live Instagram Kemenkes RI pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Lingkungan toxic bisa muncul di mana saja --- mulai dari hubungan percintaan, keluarga, hingga tempat kerja. "Sebagai contoh toxic relationship, misalnya kekerasan verbal atau fisik, dampaknya bisa bikin pasangan jadi takut dan stres," katanya.
Hal yang sama juga terjadi di dunia kerja. "Lingkungan kerja toxic misalnya diwarnai kompetisi yang nggak sehat. Individu yang merasakan ini jadi nggak aman, takut, nggak berani berekspresi, dan akhirnya jadi stres," tambahnya.
Namun, keluar dari situasi toxic bukanlah hal yang mudah. Banyak orang memilih bertahan karena keterikatan emosional atau rasa takut kehilangan.
Toxic Bukan Tentang Orangnya, tapi Dampaknya
Istilah toxic sering disalahartikan sebagai label pada seseorang. Padahal, kata Hilda, perilaku toxic lebih berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari suatu interaksi.
"Toxic dalam bahasa Inggris artinya beracun atau berbahaya. Perilaku toxic sebenarnya merujuk pada sesuatu yang dampaknya bisa merusak atau merugikan baik fisik atau mental," katanya.
Artinya, seseorang atau lingkungan bisa dianggap toxic bila menimbulkan rasa takut, stres, atau tidak aman secara berulang. Fokusnya bukan menyalahkan siapa, tapi mengenali dampak yang muncul pada diri sendiri.
Risiko Memilih Bertahan dalam Hubungan Toxic
Tidak semua orang bisa langsung keluar dari lingkungan toxic, terutama bila terikat oleh faktor pekerjaan atau hubungan keluarga. Dalam kondisi ini, Hilda menyarankan langkah bertahan yang disertai dengan kemampuan adaptasi.
"Kalau memang kita belum bisa keluar dari lingkungan tersebut, yang harus dilakukan adalah bertahan dan adaptasi," katanya.
Menurutnya, bertahan bukan berarti pasrah, melainkan mencari cara agar diri tetap aman. "Misalnya, kita cari hal-hal yang bikin kita nyaman untuk cari distraksi, coba cari solusinya, mungkin bisa komunikasi dengan orang-orang yang nggak nyaman itu," ujarnya.
Jika komunikasi tidak berhasil, batasan menjadi langkah penting. "Kita bisa menetapkan boundaries atau batasan hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Kita bisa menolak dan bilang ‘tidak’ kemudian berfokus pada sesuatu positif yang kita suka," tambahnya.
Kenapa Banyak Orang Sulit Pergi dari Lingkungan Toxic?
Meski sadar berada di situasi yang tidak sehat, banyak orang tetap bertahan. Hilda, menjelaskan, hal ini sering berkaitan dengan pola kelekatan atau attachment style.
"Orang yang punya masalah kelekatan atau insecure attachment biasanya mereka nggak berani melepas kalau sudah dalam hubungan. Kalau belum hubungan, mereka nggak berani untuk dekat," katanya.
Faktor perasaan tidak berharga juga berperan besar. "Terkadang mereka yang terjebak dalam hubungan toxic merasa tidak berharga, jadi sekalinya dekat dengan orang lain akan melekat sekali. Jadi mereka berpikir "Kalau nggak sama dia, siapa yang mau sama saya?'," katanya.
Pemikiran ini membuat seseorang terjebak dalam lingkaran ketergantungan emosional. Sehingga, hal ini membuatnya sulit memutus hubungan meski tahu dirinya disakiti.