
UPSTATE Medical University di Amerika Serikat kini menawarkan terapi radiasi dosis rendah atau low-dose radiation therapy (LDRT) sebagai pilihan baru untuk mengatasi osteoartritis (peradangan kronis di sendi). Penyakit sendi degeneratif ini merupakan bentuk artritis paling umum yang memengaruhi lebih dari 32,5 juta orang dewasa di AS, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).
Radioterapi dosis rendah merupakan pengobatan aman, efektif, dan non-invasif untuk kondisi inflamasi dan degeneratif pada tendon, sendi, serta jaringan lunak lainnya. Terapi ini terbukti mampu mengurangi nyeri dan kekakuan, sekaligus membantu pasien menghindari tindakan operasi.
Anna Shapiro, MD, wakil ketua urusan klinis Departemen Onkologi Radiasi Upstate, menjelaskan bahwa metode ini sebenarnya telah digunakan di Amerika Serikat hingga tahun 1980-an sebelum tergantikan oleh terapi manajemen nyeri lain. “Namun, di Eropa, radioterapi dosis rendah tetap digunakan untuk berbagai kondisi jinak,” katanya dikutip dari Upstate Medical University.
Shapiro bahkan sempat mengikuti pelatihan khusus di Jerman, di mana ribuan pasien setiap tahun dirawat dengan metode ini untuk mengatasi gangguan muskuloskeletal seperti bursitis, tendonitis, dan plantar fasciitis.
Hingga kini, pengobatan osteoartritis umumnya hanya berfokus pada pereda nyeri. Pilihan yang tersedia antara lain obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), suntikan kortison, serta terapi fisik. Meski efektif, NSAID dapat menimbulkan efek samping seperti sakit perut, serta kerusakan hati dan ginjal. Sementara itu, penggunaan kortison jangka panjang berisiko memperburuk kerusakan sendi. Bila semua opsi gagal, operasi penggantian sendi menjadi jalan terakhir.
Terapi radiasi dosis rendah muncul sebagai alternatif baru. Shapiro menjelaskan bahwa dosis radiasi yang digunakan untuk kondisi inflamasi kurang dari 10 persen dibandingkan dengan terapi radiasi kanker.
“Durasi pemulihannya bervariasi, tetapi beberapa orang dapat menikmati pemulihan jangka panjang hingga beberapa tahun,” ujarnya. Hingga kini, lebih dari selusin pasien osteoartritis telah ia tangani tanpa mengalami efek samping.
Pasien yang tertarik dengan terapi ini akan menjalani konsultasi terlebih dahulu, termasuk pemeriksaan fisik dan pemindaian tomografi terkomputasi (CT) untuk menentukan area perawatan yang tepat. Perawatan dilakukan di salah satu dari empat kantor cabang Pusat Kanker Upstate. Setiap sesi berlangsung sekitar 15 menit dan ditanggung oleh asuransi.
Pasien biasanya menjalani enam sesi terapi selama dua minggu. Sinar-X diarahkan secara presisi untuk memicu respons antiinflamasi alami tubuh. Tiga bulan setelah terapi, pasien akan dievaluasi kembali. Jika nyeri berkurang atau hilang, perawatan tambahan tidak diperlukan. Namun, bila rasa sakit masih ada, pasien dapat menjalani satu atau dua sesi tambahan.
“Terapi ini ditujukan bagi pasien yang sudah mencoba berbagai pengobatan lain, mulai dari terapi fisik hingga suntikan, namun belum siap menjalani operasi. Ini merupakan pilihan non-invasif yang sangat baik," jelasnya.
Salah satu pasien, Deborah Burgett, merasakan manfaat besar dari terapi tersebut. Ia sempat menjalani suntikan steroid selama empat tahun untuk mengatasi nyeri akibat radang sendi di lutut, namun hasilnya tidak memuaskan. Setelah mengikuti saran Shapiro untuk mencoba radioterapi dosis rendah, rasa sakitnya perlahan hilang dan peradangan berkurang signifikan. “Sekarang saya bisa kembali melakukan hal-hal yang saya sukai, seperti berperahu dan berenang, tanpa nyeri lutut,” katanya.
Shapiro menambahkan bahwa tren penggunaan radioterapi dosis rendah di Amerika Serikat semakin meningkat. Tema pertemuan American Society for Radiation Oncology (ASTRO) tahun 2025 bahkan menyoroti inovasi ini melalui tema “Menemukan Kembali Kedokteran Radiasi dan Menjelajahi Indikasi Baru.”
“Setiap tahun selalu ada sesi yang membahas aplikasi radiasi untuk kondisi jinak,” ujarnya. “Radiasi untuk kasus nonkanker kini benar-benar mendapatkan tempat dan popularitas yang berkembang pesat. Ini sangat menarik.” (H-4)