Liputan6.com, Jakarta Berbagai media massa memberitakan bahwa tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN) menyimpulkan bahwa senyawa nitrit merupakan pemicu dari gejala keracunan yang dialami 1.315 siswa penerima Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bandung Barat.
Disebutkan bahwa ada kadar nitrit yang sangat tinggi di buah melon dan lotek dari sampel sisa sekolah. Kadarnya disebutkan pada masing-masing jenis sampel yang diuji, terdapat 3,91 dan 3,54 mg/L nitrit. Padahal, jika merujuk pada EPA (US Environmental Protection Agency), kadar maksimum nitrit yang boleh dikonsumsi dalam minuman adalah 1 mg/L, sedangkan otoritas kesehatan di Kanada menetapkan batas maksimum 3 mg/L.
Kita semua sepakat bahwa tingginya kadar nitrit tentu akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Hanya saja akan lebih baik kalau tim investigasi juga menjelaskan ke masyarakat tentang setidaknya dua hal.
Pertama, akan baik kalau dijelaskan kenapa pada sampel-sampel ini ditemukan kadar nitrit yang tinggi. Tim investigasi tentu sudah memeriksa SPPG secara rinci, termasuk air, udara, lingkungan dan lain-lain untuk mencari asal usul pertama pencemaran terjadi.
Mungkin juga tim sudah menelaah proses bahan makanan sebelum sampai ke SPPG dan proses makanan matang keluar dari SPPG. Dengan berbagai data ini maka tentu baik disampaikan ke masyarakat tentang apa masalahnya sehingga pada makanan ditemukan kadar nitrit yang tinggi.
Informasi ini penting agar masalah serupa tidak terjadi lagi di waktu mendatang, baik di lokasi yang sama maupun dapat sebagai lesson learned untuk lokasi-lokasi lain.
Kedua, Beri Rekomendasi Perbaikan Sistem agar Tak Terulang
Kedua, juga akan baik kalau berdasar temuan yang ada maka tim dapat juga memberi rekomendasi perbaikan sistem agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Kemudian, kembali menurut berita media massa maka tim Investigasi Independen BGN justru tidak menemukan bakteri jahat penyebab keracunan makanan, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. Ini juga merupakan temuan menarik untuk dikaji, karena beberapa hari yang lalu ada berita media massa juga yang memberitakan bahwa Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mengungkapkan penyebab keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bandung Barat adalah karena bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Artinya seperti ada dua hasil analisa yang berbeda.
Tentu perbedaan hasil ini banyak faktornya, bisa asal sampelnya berbeda, atau metodenya berbeda dan lainnya. Untuk itu maka akan baik kalau juga dijelaskan ke masyarakat tentang kenapa ada perbedaan antara hasil Tim Investigasi dan hasil Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat, sehingga kita semua tahu duduk persoalan sebenarnya.
Sekali lagi ini maksudnya adalah untuk “lesson learned” ke depan agar proyek Makan Bergizi Gratis benar-benar dapat dijamin keamanan makanannya untuk dikonsumsi anak-anak bangsa.
** Penulis adalah Direktur Pascasarjana Universitas YARSI / Adjunct Professor Griffith University