
ARKEOASTRONOMI merupakan cabang ilmu yang menggabungkan arkeologi, astronomi, serta antropologi. Cabang ilmu ini menyingkap bagaimana masyarakat kuno memahami dan memanfaatkan benda-benda langit dalam kehidupan mereka.
Dalam rangka peringatan World Space Week, Pusat Riset Antariksa (PRA) BRIN menyelenggarakan webinar berjudul “100 Jam Astronomi untuk Semua” pada Jumat (3/10).
Kegiatan ini menghadirkan Irma Indriana Hariawang, lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang membahas keterkaitan antara langit dan kebudayaan manusia dari sudut pandang arkeoastronomi.
Irma menjelaskan bahwa arkeoastronomi terbagi menjadi tiga bidang utama: astroarkeologi, sejarah astronomi, dan etnoastronomi. Astroarkeologi berfokus pada kajian arsitektur maupun tata ruang situs bersejarah yang terhubung dengan fenomena langit.
Sejarah astronomi membahas catatan tertulis atau peninggalan yang berkaitan dengan pengamatan benda langit. Sementara itu, etnoastronomi berfokus pada hubungan budaya masyarakat dengan fenomena astronomi yang dapat ditelusuri melalui tradisi dan praktik budaya.
Beberapa monumen bersejarah dunia, seperti Stonehenge di Inggris, Malta Temple di Malta, Dolmen Gochang di Korea, serta Piramida Mesir, merupakan contoh klasik dari peninggalan arkeoastronomi. Bangunan-bangunan tersebut dirancang dengan memperhatikan posisi Matahari, Bulan, maupun bintang, bahkan berfungsi sebagai penunjuk waktu layaknya kalender alami.
Jejak serupa juga terdapat di Indonesia. Berdasarkan hasil penelusurannya, Irma menemukan bahwa sejak ribuan tahun sebelum masehi, masyarakat nusantara telah menggunakan langit sebagai pedoman navigasi, penentu musim tanam, hingga sarana ritual keagamaan.
Unsur astronomi dari Tiongkok, Amerika (Indian), Arab, hingga Eropa kemudian berakulturasi, melahirkan tradisi unik seperti kalender saka, penentuan arah kiblat, hingga pranoto mongso yang digunakan masyarakat Jawa untuk menentukan musim bercocok tanam berdasarkan pergerakan Matahari.
Salah satu bukti penting arkeoastronomi Indonesia terlihat pada Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Keduanya dibangun dengan mempertimbangkan keselarasan terhadap posisi Matahari dan Bulan. Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasan nenek moyang karena pembangunan candi memerlukan perhitungan astronomi yang matang.
Selain itu, berbagai artefak juga memperlihatkan eratnya hubungan masyarakat dengan langit, antara lain Bejana Zodiak di Pasuruan, Gnomon milik Suku Kenyah Dayak di Kalimantan Timur, serta Bencet di Jawa Tengah. Menariknya, beberapa peninggalan tersebut masih digunakan hingga kini. Bejana Zodiak sendiri dapat disaksikan secara langsung di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Irma menekankan bahwa masih banyak warisan arkeoastronomi di Indonesia yang dapat dieksplorasi lebih lanjut. Situs-situs semacam ini memiliki potensi besar dalam pengembangan astrowisata, yang dapat menarik minat wisatawan. Untuk mendukung pengkajian lebih dalam, Irma berharap ada perguruan tinggi yang secara khusus mengembangkan riset arkeoastronomi melalui kolaborasi lintas disiplin ilmu.
Studi mengenai arkeoastronomi diyakini akan terus berkembang. Setiap temuan baru bukan hanya memperkaya pemahaman terhadap sejarah sains dan teknologi di Nusantara.
Namun, juga membuka wawasan mengenai filosofi leluhur yang menempatkan manusia sebagai bagian menyatu dengan jagat raya. Pengetahuan ini menjadi bukti bahwa jauh sebelum era modern, langit sudah menjadi sumber inspirasi dan pedoman hidup bagi peradaban.
Ke depannya, pendekatan inovatif berbasis machine learning dan virtual reality diharapkan mampu memberikan cara baru dalam menafsirkan serta memvisualisasikan peninggalan-peninggalan yang berkaitan dengan fenomena langit. Dengan bantuan teknologi ini, masyarakat bisa kembali merasakan keindahan pergerakan bintang di situs kuno sekaligus memahami makna spiritual yang terkandung di dalamnya.
Sumber: brin.go.id