
PIDATO Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2025 membuka babak baru dalam sejarah diplomasi Indonesia. Untuk pertama kalinya, seorang presiden Indonesia secara terbuka menyatakan kesediaan untuk mengakui Israel. Namun, itu dilakukan dengan syarat Israel harus lebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina. Tawaran resiprositas itu disertai janji Indonesia siap mengirim 20 ribu pasukan perdamaian di bawah bendera PBB guna menjamin keamanan kedua pihak.
Ada pergeseran dalam politik luar negeri Indonesia. Selama puluhan tahun, Indonesia konsisten menolak hubungan dengan Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina. Kini diplomasi Indonesia melangkah lebih jauh. Tak lagi sekadar mendukung resolusi PBB yang 'hanya' mampu mengecam Israel, tapi menawarkan solusi konkret: pengakuan resiprositas dan dukungan keamanan di lapangan. Pernyataan politik itu tak berarti apa-apa tanpa tidak lanjut dalam tataran diplomasi dan aksi. Karena itu, muncul pertanyaan: setelah pidato itu, lalu apa langkah nyata diplomasi Indonesia ke depan?
Kontribusi Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina bisa dipindai setidaknya dalam tiga perspekstif. Pertama, dari perspektif politik dan diplomasi. Dukungan politik terhadap Palestina saat ini sudah mencapai 157 negara (lebih dari 80% anggota PBB).
Dalam fatsun diplomasi, pengakuan terhadap eksistensi dan kemerdekaan suatu negara dapat meningkatkan posisi diplomatik dan memberikan tekanan politik-moral kepada pihak yang menolak. Namun, dukungan itu hanya akan 'meninju angin' jika tanpa perubahan sikap anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Untuk menjadi anggota PBB, sebuah negara harus mendapat persetujuan bulat dari lembaga itu.
Di antara lima anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto, kini tinggal AS yang belum mendukung Palestina. Betul bahwa dukungan 157 negara dapat mempertebal legitimasi politik dan moral bagi Palestina. Namun, hambatan utama tetaplah veto AS di DK PBB
Pada titik itulah upaya diplomatik ekstra harus diupayakan. Indonesia sudah telanjur dikenal sebagai bridge builder dalam mempertemukan pihak yang berseberangan di berbagai forum internasional. Dalam pergaulan internasional, terutama di forum PBB, Indonesia menjadi key player dalam penyusunan posisi untuk isu-isu strategis, utamanya di antara negara berkembang.
Tonggak citra positif Indonesia sebagai pembawa suara negara berkembang dan pionir solidaritas negara-negara bekas terjajah tertancap kuat sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung, April 1955. Di Bandung tersimpul benang merah sejarah solidaritas negara berkembang hingga lahirnya Gerakan Nonblok (GNB) di Beograd, 1961.
Pelembagaan GNB di PBB saat ini dilengkapi dengan solidaritas negara berkembang dalam kelompok Global South. Tidak saja dalam keanggotaan, kedua forum itu memiliki visi dan semangat yang sama: menggalang solidaritas dan posisi bersama dalam menghadapi isu-isu strategis di PBB. Jika lembaga GNB dan semangat Global South dimobilisasi secara bersamaan, mereka bisa menjadi dukungan politik yang dahsyat bagi Palestina.
Indonesia sebagai pelopor semangat Asia-Afrika memiliki diplomatic credential untuk berperan sebagai engine of coalition di Global South dan GNB. Koalisi diplomatik itu tidak hanya bisa menambah dukungan bagi Palestina di PBB, tetapi juga untuk membangun moral majority dunia agar tekanan terhadap AS meningkat. Jika itu terjadi, langkah Palestina menuju keanggotaan penuh di PBB semakin terbuka.
Kedua, dari perspektif politik dan keamanan, Israel dan Palestina butuh jaminan keamanan jika nanti tercapai perdamaian. Jika proposal two-state solution disetujui mayoritas anggota PBB dan DK PBB bulat mendukung kemerdekaan Palestina, langkah selanjutnya ialah perundingan soal gencatan senjata, keamanan, dan perbatasan. Jaminan keamanan itu perlu karena bagaimana bisa kedua pihak berunding jika peluru dan mesiu terbang melintas di atas kepala.
Indonesia sendiri, dalam pidato Prabowo di PBB, bersedia mengirim 20 ribu pasukan di bawah PBB untuk menjaga perdamaian. Bagi Israel, penawaran 20 ribu pasukan itu merupakan jaminan keamanan di lapangan jika nanti perdamaian tercapai. Kehadiran kontingen perdamaian dimaknai sebagai dukungan politik bagi Palestina sekaligus jaminan keamanan bagi Israel. Indonesia pada waktunya nanti bisa aktif membahas mandat, ukuran, aturan penggunaan pasukan (rules of engagement), dan legitimasi politik misi pasukan perdamaian agar efektif menjalankan tugas mereka.
Ketiga, dari perspektif diplomasi publik, dirasa perlu untuk membangun opini dunia terkait dengan perdamaian Israel-Palestina. Sejarah memberikan pelajaran. Perang Vietnam berakhir bukan semata karena kekalahan militer AS, melainkan juga karena runtuhnya legitimasi politik akibat opini publik global dan domestik.
Daniel Ellsberg pernah mengatakan Kennedy dan Johnson (keduanya mantan presiden AS) sering kali menyampaikan informasi menyesatkan kepada publik dunia tentang apa yang AS lakukan di Vietnam (Secrets: A Memoir of Vietnam and the Pentagon Papers, 2002). Kebohongan itu, ketika terbongkar, meruntuhkan kepercayaan publik terhadap AS.
Perang Vietnam menunjukkan opini publik dunia bisa lebih kuat daripada kalkulasi militer.
Bayangkan, saat itu belum ada media sosial yang bisa menyampaikan informasi real time seperti sekarang. Begitu pun, berita melalui radio, TV, dan media cetak yang masih terbatas saja mampu membangun opini dunia: betapa kejinya tindakan AS di Vietnam. Liputan media itulah yang membentuk opini dunia. Bukan saja di masyarakat internasional, publik AS sendiri pun antipati dan memprotes keterlibatan AS dalam Perang Vietnam. Akhirnya semua menjadi sejarah: AS hengkang dari Vietnam.
Dengan analogi Perang Vietnam, masyarakat internasional perlu membangun opini dunia untuk menekan AS dan Israel. Apalagi saat ini informasi bisa cepat disiarkan real time. Selain itu, komunitas internasional butuh ruang untuk mengampanyekan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan sebagai roh perdamaian.
Cukup sudah budaya kekerasan diberhalakan dalam penyelesaian konflik. Kini saatnya dunia menggemakan diplomasi berbasis nilai (value-based diplomacy). Forum Tingkat Tinggi tentang Culture of Peace (Forum Budaya Perdamaian) di PBB bisa dijadikan wahana untuk membangun opini dunia bahwa konflik Israel-Palestina harus segera diakhiri.
Indonesia memiliki diplomatic capital untuk membangun opini dunia seperti ini. UNESCO-PBB telah menganugerahi penghargaan Memory of the World (Warisan Arsip Dunia) untuk pidato Presiden Sukarno di SMU-PBB 1960. Pidato berjudul To Build the Wolrd Anew itu berisi Pancasila yang ditawarkan Bung Karno sebagai pedoman nilai moral dan etika dalam hubungan antarnegara (moral and ethics platform).
Indonesia bisa memanfaatkan Forum Budaya Perdamaian di PBB untuk menginsipirasi masyarakat internasional dengan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Kombinasi upaya diplomatik di PBB dan gerakan masyarakat sipil di dalam negeri AS dan Israel, bahkan di seluruh dunia, utamanya di Barat, diharapkan bisa menjadi guliran tekanan politik sehingga mengubah sikap AS dan Israel terhadap Palestina. Perubahan sikap itu yang ditunggu-tunggu dunia agar Palestina bisa meretas jalan menuju kemerdekaan dan keanggotaan penuh di PBB.