
PERGANTIAN Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru dalam arah kebijakan fiskal Indonesia. Di tengah transisi politik dan ekonomi penuh tekanan muncul peristiwa penting yang menguji keseimbangan akal sehat fiskal dengan kecerdikan politik: yaitu sikap Purbaya terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta tanggapannya terhadap pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan.
Dua figur ini -Purbaya dan Luhut- merepresentasikan dua arus besar dalam tatakelola pemerintahan:
(1) Teknokrasi fiskal yang mengutamakan disiplin dan data
(2) Politik pembangunan yang mengutamakan simbol populis dan percepatan ekonomi.
Apakah sikap tegas Purbaya menghadapi kasus MBG dan tanggapannya terhadap Luhut merupakan bentuk kecerdasan rasional atau manuver politis?
Rasionalitas Fiskal dan Populisme Politik
Dalam studi ekonomi politik modern terdapat dua kutub ekstrem yang sering berhadap-hadapan dalam pemerintahan:
- Fiscal Prudence — menekankan stabilitas, efisiensi, dan akuntabilitas keuangan negara.
- Fiscal Populism — menekankan program populis dan kebijakan ekspansif yang memberi manfaat langsung bagi rakyat namun seringkali mengabaikan keberlanjutan fiskal.
Menurut teori kebijakan publik Weberian seorang birokrat sejati mesti menjaga netralitas administratif. Namun, dalam praktik negara demokrasi berkembang, netralitas selalu bernegosiasi dengan tekanan politik. Dalam konteks Indonesia, posisi Purbaya sebagai Menteri Keuangan tidak dapat dilepaskan dari keseimbangan dua logika ini: logika teknokratik (akuntabilitas fiskal) dan logika politis (konsolidasi kekuasaan).
Kasus MBG: Ujian Awal bagi Purbaya
Program MBG merupakan kebijakan unggulan pemerintah baru simbol komitmen terhadap pemerataan sosial dan pengentasan gizi anak bangsa. Namun, implementasinya diwarnai laporan keracunan massal, pelanggaran prosedur distribusi, dan serapan anggaran tidak merata. Ketika Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), memperingatkan agar anggaran MBG tidak disunat, Purbaya justru menegaskan bahwa: “Jika serapan rendah hingga akhir Oktober, kami akan evaluasi dan potong anggaran yang tidak efektif.” Sikap ini menjadi sorotan publik karena jarang ada pejabat ekonomi secara terbuka menegaskan potensi cutback terhadap program prioritas pemerintah yang berlabel sosial. Namun, di balik ketegasan itu tersimpan makna strategis.
Rasionalitas Fiskal sebagai Pilar Akuntabilitas
Dari kacamata administrasi publik dan kebijakan fiskal, langkah Purbaya dapat dikategorikan sebagai bentuk rational accountability sebuah pendekatan untuk menjaga efisiensi tanpa mengorbankan legitimasi sosial. Beberapa alasan akademis mendukung pendekatan ini:
- Prinsip Value for Money (VfM). Dalam kebijakan keuangan publik, setiap rupiah harus memberikan hasil terukur. Bila anggaran MBG tidak terserap dengan baik atau menimbulkan risiko kesehatan, evaluasi bahkan pemotongan adalah langkah logis dan legal.
- Fiscal Guard Function. Menteri Keuangan bertanggung jawab bukan hanya kepada presiden tetapi juga kepada rakyat sebagai pemilik dana publik. Dalam teori principal–agent, Purbaya sebagai agen fiskal harus memastikan dana publik tidak disalahgunakan meskipun tekanan politik datang dari principal politik.
- Responsibilitas Moral dan Birokratik. Tindakan mengoreksi kebijakan populis tidak berarti menolak program sosial tetapi menjaga keberlanjutannya agar tidak menjadi proyek simbolik tanpa manfaat substantif. Dengan demikian, dari perspektif akademis, sikap Purbaya bisa dinilai cerdas dan rasional sejauh ia didasari oleh data, transparansi, dan mekanisme evaluasi objektif.
Citra, Otoritas, dan Manuver Kekuasaan
Namun, analisis politik menampilkan wajah lain dari peristiwa yang sama.
Sikap tegas Purbaya bukan sekadar rasional melainkan juga sinyal politik bahwa ia ingin tampil sebagai menteri keuangan yang mandiri dan berani di hadapan figur senior seperti Luhut. Ada tiga dimensi politis yang melekat dalam tindakannya:
- Simbolisasi Kemandirian Teknis. Dalam pemerintahan baru, Purbaya berusaha menunjukkan bahwa ia bukan sekadar penerus Mulyani tetapi figur dengan otoritas sendiri.
Ketegasan terhadap Luhut adalah pesan simbolik: “Kementerian Keuangan bukan perpanjangan tangan kekuasaan melainkan penjaga uang negara.”
- Strategi Komunikasi Publik. Dengan tampil tegas di ruang publik, ia membangun citra menteri pro rakyat tapi disiplin fiskal, sebuah kombinasi langka di Indonesia.
Ini langkah cerdas sekaligus berisiko sebab ia bermain di garis tipis antara populisme rasional dan oportunisme politik.
Negosiasi Kekuasaan di Kabinet. Dalam politik kabinet, setiap sikap publik adalah bagian dari power signaling. Dengan melawan tekanan halus dari Luhut, Purbaya menegaskan bahwa ia bukan bawahan politik, melainkan mitra strategis dalam arsitektur fiskal.
Kecerdasan dan Risiko
Dalam konteks politik pemerintahan, sikap cerdas sekaligus berisiko Purbaya dapat dibaca melalui dua skenario: Skenario A –Cerdas dan Visioner. Jika ia mampu membuktikan bahwa kebijakan evaluatifnya terhadap MBG meningkatkan efisiensi dan kepercayaan publik, maka Purbaya akan dikenang sebagai reformis fiskal yang menyeimbangkan keberanian politik dengan integritas teknokratik.
Ia akan menjadi simbol menteri rakyat yang rasional. Skenario B –Politis dan Konfrontatif. Namun, bila komunikasinya tidak diiringi hasil konkret atau memicu konflik terbuka dengan Luhut dan kelompok politik lain, maka sikap tegasnya dianggap arogansi politis yang menimbulkan ketegangan di kabinet. Dalam skenario ini, Purbaya akan terlihat bukan sebagai reformis tetapi sebagai aktor politis yang kehilangan arah fiskal.
Antara Akal dan Kekuasaan
Purbaya saat ini berdiri di garis batas antara akal sehat ekonomi dan tekanan politik kekuasaan. Ia menghadapi dilema klasik seorang teknokrat di negara demokrasi: “Bagaimana menjaga uang rakyat tanpa kehilangan dukungan penguasa?” Seperti kata Niccolò Machiavelli dalam The Prince, “Dalam politik menjadi benar tidak selalu membuatmu aman tetapi tanpa kebenaran, kekuasaan tidak akan bertahan lama.” Sikap Purbaya adalah ujian bagi moralitas fiskal Indonesia. Apakah rasionalitas masih punya tempat dalam politik yang semakin emosional?
Kesimpulan & Khulasoh
Sikap Purbaya dalam kasus MBG dan tanggapannya terhadap Luhut adalah gabungan antara kecerdasan teknokratik dan kecerdikan politis. Ia tidak hanya menguji sistem akuntabilitas keuangan negara tetapi juga struktur kekuasaan di dalamnya. Jika langkahnya dijalankan dengan konsistensi, transparansi, dan komunikasi publik elegan, Indonesia mungkin sedang menyaksikan lahirnya model baru kepemimpinan fiskal: menteri yang berani seperti politisi tetapi berpikir seperti ekonom. Namun, bila ia gagal menjaga keseimbangan ini, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai reformis melainkan simbol betapa sulitnya menjadi cerdas di tengah pusaran politik. (H-4)