Liputan6.com, Jakarta “Broken heart syndrom” atau sindrom patah hati memiliki istilah medis bernama takotsubo cardiomyopathy. Sindrom ini dipicu oleh lonjakan hormon stres seperti adrenalin yang mengganggu kontraksi normal jantung akibat stres fisik maupun emosional.
Sebagian pasien pulih dengan cepat tapi sebagian kecil lainnya bisa mengalami masalah serius berupa gagal jantung.
Pasien sindrom patah hati umumnya akan menunjukkan gejala berupa otot jantung yang membesar seperti balon, tetapi tidak mengalami penyumbatan arteri, yang mana terjadi pada kondisi serangan jantung.
Dilansir dari NBC News, sindrom patah hati umum terjadi pada perempuan, tapi risiko kematian akibat sindrom ini dua kali lipat lebih tinggi pada laki-laki. Hal tersebut diungkapkan dalam sebuah penelitian di Journal of the American Heart Association. Sebanyak 11 persen pria meninggal karena sindrom ini, sedangkan kematian hanya terjadi pada 5 persen wanita.
Sejalan dengan hasil penelitian, direktur Sarah Ross Soter Center for Women’s Cardiovascular Research di NYU Langone Health, Harmony Reynolds mengatakan, sindrom patah hati jarang terjadi pada pria, namun ketika terjadi, dampaknya lebih bahaya.
“Tampaknya menjadi temuan yang konsisten bahwa pria tidak terlalu sering mengalami sindrom takotsubo, tetapi ketika mereka mengalaminya, kondisinya lebih parah,” katanya.
Mengapa Sindrom Patah Hati Lebih Bahaya pada Laki-Laki
Para ahli jantung menyebut, perbedaan efek ini mungkin berkaitan dengan pemicu sindrom. Pada laki-laki, sindrom ini umumnya disebabkan oleh stresor fisik, seperti operasi atau stroke. Tetapi, pada wanita, pemicu umumnya adalah emosional, seperti kehilangan pekerjaan atau orang terkasih.
Menurut ahli jantung di John Hopkins Medicine, Ilan Wittstein, orang-orang dengan stresor emosional akan baik-baik saja.
“Pria mungkin lebih berisiko meninggal dan mengalami dampak buruk karena mereka memang kurang rentan sejak awal. Jadi, dibutuhkan pemicu yang lebih berbahaya untuk memicu sindrom ini,” ujarnya.
Mohammad Movahed, ahli jantung di Sarver Hearth Center, University of Arizona sekaligus penulis utama penelitian terkait sindrom ini menyebut, laki-laki sulit untuk pulih dikarenakan mereka cenderung lebih sedikit mendapatkan dukungan sosial untuk membantu mengelola stres yang dialami.
“Jika Anda memiliki pemicu stres ini, dan stres tersebut tidak hilang, hal itu kemungkinan akan terus membahayakan jantung, atau setidaknya mengurangi peluang pemulihan,” katanya.
Apakah Stres Satu-satunya Pemicu Sindrom Patah Hati?
Bagi beberapa pasien, mereka mengalami stres sebelum masuk ke fase pembesaran otot jantung.
Namun, menurut Wittstein stres saja mungkin tidak cukup untuk memicu sindrom patah hati.
“Ada orang yang merasa sedikit frustrasi di tempat kerja, atau ada yang jogging terlalu bersemangat, atau ada yang terjebak di lampu merah dan merasa kesal,” ujarnya.
Di sisi lain, Reynolds mengatakan, salah satu pasiennya telah mengalami sindrom ini selama empat kali, disebabkan oleh masalah perut ringan yang membuatnya muntah.
“Dia benar-benar benci muntah dan akan muntah serta terkena takotsubo cardiomyopathy,” katanya.
Wittstein meyakini, beberapa pasien mungkin memiliki risiko rentan terkena sindrom patah hati ini. Berdasarkan penelitiannya, hormon stres ditunjukkan dapat menyempitkan pembuluh darah kecil di sekitar jantung, yang mengurangi aliran darah.
Sulit Diobati Sekaligus Sulit Dicegah
Menurut para ahli jantung, misteri di balik sindrom ini membuatnya sulit untuk diatasi maupun dicegah. Terkadang, dokter meresepkan obat untuk masalah jantung lainnya, atau menyarankan untuk bermeditasi dan berbincang dengan profesional kesehatan mental.
“Sejauh ini kami belum menemukan apa pun – pengobatan apa pun, perawatan khusus apa pun – yang dapat mengurangi komplikasi atau mengurangi angka kematian,” kata Movahed.
Melalui penelitian terbarunya, ditemukan fakta bahwa angka kematian akibat sindrom patah hati dari tahun 2016 hingga 2020, cenderung stabil. Movahed menyebut, kondisi tersebut berarti pengobatan saat ini masih tidak memadai.
Namun, Wittstein mengatakan, penelitian tersebut bergantung pada kode diagnostik yang diberikan kepada pasien di Rumah Sakit, yang terkadang dapat melewatkan gambaran lengkap tentang penyebab kematian.
“Saya cukup yakin bahwa beberapa orang ini pulih dari sindrom patah hati dan kemudian meninggal karena komplikasi penyakit lain,” katanya.
Saran terbaik dari para ahli jantung sejauh ini adalah pergi ke rumah sakit saat mengalami nyeri dada atau sesak napas, serta tidak menganggapnya sebagai gejala stres.
“Anda tidak bisa membedakannya dengan serangan jantung biasa sampai Anda tiba di rumah sakit dan menjalani serangkaian tes. Jadi, tidak tepat untuk tetap di rumah saat Anda mengalami nyeri dada,” kata Reynolds.