Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan keputusan menahan tarif telah melalui kajian mendalam terkait kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk membayar ongkos transportasi massal.
Syafrin menambahkan, meskipun terjadi efisiensi pada anggaran subsidi transportasi, pemerintah tetap mempertahankan tarif agar tidak membebani warga.
“Kalau dilihat dari perhitungan tahun lalu, angka keekonomian tarif MRT itu sekitar Rp 13 ribu, sementara tarif yang diberlakukan hanya Rp 7 ribu. Artinya, subsidi rata-rata per perjalanan mencapai sekitar Rp 6.000. Nilai ini masih dalam batas wajar dari sisi perhitungan kami,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) Tuhiyat menegaskan bahwa keberlangsungan operasional MRT tidak hanya bergantung pada dana dari pemerintah pusat, seperti Dana Bagi Hasil (DBH).
“Ada DBH, tidak ada DBH, MRT Jakarta memang sejak awal kami upayakan non-farebox. Jadi begini, ada pendapatan dari penumpang atau tarif. Kalau ridership-nya naik, ditopang oleh PSO (Public Service Obligation),” kata Tuhiyat.
Ia menjelaskan, dari perhitungan saat ini, biaya keekonomian layanan MRT sebenarnya mencapai sekitar Rp 32 ribu per penumpang, namun masyarakat hanya membayar Rp 14 ribu.
“Artinya, ada sekitar Rp 18 ribu yang disubsidi pemerintah melalui PSO. Itu sudah cukup untuk menutup biaya layanan,” ujarnya.Pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) untuk Jakarta menjadi Rp 11,15 triliun yang seharusnya Rp 26 triliun.
Akibat pemangkasan tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta turun dari Rp 95,35 triliun menjadi Rp 79,06 triliun.