TEMUAN tim investigasi independen Badan Gizi Nasional (BGN) soal nitrit jadi penyebab keracunan program makan bergizi gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat memunculkan sejumlah pertanyaan baru. Pakar kesehatan Tjandra Yoga Aditama menilai pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih rinci mengenai sumber pencemaran dan perbedaan hasil uji laboratorium.
“Informasi ini penting agar masalah serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang, baik di lokasi yang sama maupun menjadi pembelajaran bagi daerah lain,” ujar Tjandra dalam keterangan tertulis dikutip pada Senin, 6 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dalam temuannya, tim investigasi BGN mendeteksi kadar nitrit pada sampel buah melon dan lotek dari sisa MBG sangat tinggi. Kadar nitrit tercatat mencapai 3,91 dan 3,54 mg/L, jauh melebihi ambang batas aman. Sebagai perbandingan, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menetapkan batas maksimum nitrit dalam minuman sebesar 1 mg/L, sementara otoritas kesehatan Kanada membatasi hingga 3 mg/L.
“Semua pihak sepakat bahwa kadar nitrit tinggi dapat menimbulkan gangguan kesehatan,” kata mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu. “Namun, akan lebih baik jika tim investigasi juga menjelaskan mengapa kadar nitrit setinggi itu bisa muncul pada makanan.”
Menurut dia, tim seharusnya telah memeriksa rantai pasokan bahan makanan secara menyeluruh, mulai dari sumber bahan, proses distribusi, hingga pengolahan di Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Penjelasan mengenai titik awal pencemaran, ujar Tjandra, penting untuk menghindari spekulasi dan mencegah kejadian serupa.
Selain soal sumber nitrit, muncul pula perbedaan hasil uji laboratorium antara tim BGN dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat. Tim BGN tidak menemukan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, maupun Bacillus cereus. Padahal, beberapa hari sebelumnya Labkesda Jabar menyebut Salmonella dan Bacillus cereus sebagai penyebab keracunan MBG.
“Perbedaan ini menarik untuk dikaji. Bisa jadi sumber sampelnya berbeda atau metodenya tidak sama. Karena itu perlu dijelaskan ke masyarakat supaya duduk persoalan menjadi terang,” ujarnya.
Tjandra menekankan, kejelasan sumber pencemaran dan metodologi pengujian sangat penting sebagai bahan evaluasi program MBG. “Ini bukan sekadar soal teknis laboratorium. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap keamanan pangan dalam program pemerintah,” katanya.
Kasus keracunan MBG di Bandung Barat terjadi sejak 24 September 2025, menimpa ribuan siswa di berbagai sekolah. Sejumlah daerah lain juga telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan akibat program tersebut.