Liputan6.com, Jakarta Penyakit jantung koroner merupakan jenis penyakit jantung dengan prevalensi paling banyak dialami oleh usia dewasa. Penyebabnya sendiri bermacam-macam, salah satunya kebiasaan hidup tidak sehat.
Hal tersebut dikatakan oleh Dokter Subspesialis Kardiologi Pedriatrik dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB), Aditya Agita Sembiring dalam acara Hospidal Visit Eksklusif: Menyaksikan Transformasi Harapan Bagi Pasien Penyakit Bawaan (PJB) pada Rabu, 24 September 2024.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa merokok meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dua hingga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok.
“Rokok itu udah terbukti bahwa orang yang merokok 2-3 kali lipat lebih tinggi untuk mendapat penyakit jantung koronal dibanding yang tidak merokok”, ujar Aditya yang praktik di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Pernyataan tersebut menegaskan hasil penelitian tentang bahaya asap rokok bagi kesehatan jantung. Menurut Aditya, hingga kini masih banyak orang sering merasa keliru jika menganggap seorang perokok tetap sehat hingga lansia. Bisa saja, tanpa mereka ketahui, si perokok telah mengalami tanda-tanda penyakit jantung.
“Jadi no dispute, gak ada lagi yang bilang, ‘oh kakek saya merokok, dia gak sehat-sehat aja”,” sebutnya.
Masih Banyak Orang Tidak Sadar Bahaya Rokok
Aditya menjelaskan terdapat lima faktor risiko yang memicu penyakit jantung koroner. Pertama, merokok, kemudian disusul tekanan darah tinggi, gula darah tinggi (diabetes), kolestrol, dan riwayat keluarga (genetik).
Dalam penjelasannya, merokok ditekankan sebagai faktor gaya hidup yang mudah ditemukan tetapi paling berbahaya. Menurut dia, perokok jauh lebih rentan terkena penyakit jantung koroner dibanding bukan perokok.
Ia menekankan pentingnya peran dokter dalam kampanye kesehatan masyarakat. “Jadi ini advokasi kita semua, syiar kita sebagai dokter jantung untuk mengentaskan yang namanya rokok di dunia lah,” ujar Adit.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa sering kali perokok tidak mengalami keluhan apapun di awal, padahal bisa saja penyakit jantung telah berkembang.
“Ada keluhan? Enggak. Nyari dada? Enggak. Sesak nafas? Enggak,” ucapnya.
Kondisi tanpa gejala membuat banyak orang terlena, padahal bisa saja kerusakan pada jantung sudah berlangsung. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar bahaya rokok tidak diremehkan hanya karena tubuh terasa baik-baik saja.
Selain itu, Aditya menyebut, perbedaan gaya hidup perokok dengan orang yang tidak merokok bisa memengaruhi kondisi seseorang pada fase usia lanjut.
Perokok dan Non-Perokok Memiliki Perbedaan Mencolok Saat Lansia
Selain itu, Aditya menyebut, perbedaan gaya hidup perokok dengan orang yang tidak merokok bisa memengaruhi kondisi seseorang pada fase usia lanjut.
“Kalau orang sehat tanpa merokok, mungkin umur 60 masih marathon. Bisa lihat kan ada orang yang lifestyle-nya sehat, dia umur 60 masih ikut marathon. Beda sama yang merokok, 60 tahun nggak mati iya, tapi udah nggak bisa ngapa-ngapain,” jelasnya.
Banyak perokok lanjut usia mungkin masih hidup, tetapi kualitas hidupnya menurun drastis. Mereka jarang lagi bisa berolahraga keras atau menjalani aktivitas fisik normal.
Penjelasan Aditya menunjukkan bahwa perokok cenderung kehilangan stamina lebih cepat saat tua, sedangkan non-perokok tetap bisa hidup sehat dan fit jauh lebih lama. Keadaan itu menggambarkan betapa gaya hidup sehat, terutama menjauhi rokok, berpengaruh besar terhadap kesehatan seseorang secara keseluruhan.
Perbandingan ini menjadi gambaran nyata bahwa rokok bukan hanya soal risiko kematian, melainkan juga soal kualitas hidup. Orang sehat bisa tetap aktif di usia tua, sementara perokok harus menghadapi keterbatasan fisik.