
WAKIL Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko, mendesak pemerintah untuk segera melakukan langkah konkret pasca-insiden robohnya bangunan di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia menilai, peristiwa tersebut harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi total terhadap keamanan dan kelayakan infrastruktur lembaga pendidikan keagamaan di seluruh Indonesia.
“Musibah di Pesantren Al Khoziny ini menyentuh hati kita semua. Tapi lebih dari itu, ini juga menjadi peringatan keras bahwa aspek keselamatan bangunan pendidikan — terutama madrasah dan pesantren — belum menjadi perhatian serius. Pemerintah tidak boleh berhenti pada empati dan kunjungan, tapi harus segera bertindak dengan audit menyeluruh terhadap bangunan-bangunan pendidikan keagamaan,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (5/10).
Legislator dari Fraksi Partai Golkar itu menegaskan, selama ini banyak pesantren dan madrasah berdiri berkat inisiatif masyarakat, dengan sumber dana yang terbatas. Kondisi tersebut seringkali membuat aspek teknis bangunan, seperti struktur, drainase, hingga kualitas material, tidak mendapat pengawasan dan sertifikasi kelayakan yang layak.
“Banyak pesantren berdiri dengan semangat gotong royong. Tapi pemerintah tidak boleh abai. Semangat masyarakat itu harus dibarengi dengan standar keamanan nasional bagi semua bangunan pendidikan, baik negeri maupun swasta,” tegas Singgih.
Sertifikasi Bangunan
Ia mengusulkan agar Kementerian Agama, Kementerian PUPR, dan BNPB bekerja sama membuat program sertifikasi bangunan layak fungsi (SLF) khusus untuk lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Pemerintah juga diminta menyediakan bantuan teknis dan pelatihan bagi pengelola pesantren agar mereka paham standar konstruksi aman.
“Keselamatan santri dan siswa adalah tanggung jawab negara. Tidak boleh lagi ada tragedi yang menimpa anak-anak kita hanya karena kelalaian teknis yang bisa dicegah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Singgih menilai perlu adanya koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk mempercepat pengawasan dan pendataan kondisi fisik lembaga pendidikan keagamaan.
Menurutnya, pemerintah daerah harus menjadi ujung tombak dalam pengawasan, sementara kementerian di pusat menyiapkan peta risiko, panduan teknis, dan bantuan pembiayaan perbaikan bangunan.
“Pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendirian. Pemda harus aktif melakukan inventarisasi lembaga pendidikan yang berpotensi berisiko, terutama di wilayah rawan bencana. Kementerian Agama bisa memfasilitasi koordinasi lintas sektor antara PUPR, BPBD, dan Dinas Pendidikan Daerah,” terang Singgih.
Politisi asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah itu menambahkan, Komisi VIII DPR RI akan mendorong alokasi anggaran khusus dalam program penanggulangan bencana dan penguatan lembaga pendidikan keagamaan di RAPBN mendatang.
“Kami akan mengawal agar anggaran Kementerian Agama dan BNPB juga mencakup program pencegahan, bukan hanya penanganan pascabencana. Pencegahan jauh lebih murah dan menyelamatkan lebih banyak nyawa,” ujarnya.
Selain itu, Singgih juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proyek pembangunan lembaga pendidikan, termasuk yang bersumber dari hibah, CSR, maupun dana masyarakat. Menurutnya, semua pembangunan yang berkaitan dengan keselamatan publik harus melewati proses verifikasi teknis dan audit publik.
“Pengawasan konstruksi bangunan pendidikan tidak boleh hanya formalitas. Pemerintah harus memastikan setiap proyek benar-benar sesuai standar, dan masyarakat harus bisa mengakses informasi soal kelayakan bangunan tempat anak mereka belajar,” tegasnya.
Singgih mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin keamanan setiap anak yang menuntut ilmu, “Kita tidak boleh menunggu tragedi berikutnya untuk bertindak. Pemerintah harus menjadikan kejadian di Pesantren Al Khoziny sebagai pelajaran berharga bahwa keselamatan santri adalah keselamatan bangsa,” jelasnya.
Pembahasan Regulasi
Secara terpisah, Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar, mengatakan bahwa Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan perlu ada ketentuan terkait standar bangunan agar peristiwa gedung ambruk di Pesantren Al Khoziny tidak terjadi lagi di masa mendatang. Ketentuan ini akan dibahas bersama oleh, dari, dan untuk pesantren.
“Kita semua tentu prihatin atas peristiwa bangunan ambruk di Pesantren Al Khoziny. Kami mendoakan para korban wafat dalam keadaan syahid dan mereka yang luka bisa segera sembuh. Terkait standar bangunan, itu akan kita bahas bersama dengan para kyai, gus, dan stakeholders pesantren,” ujarnya.
Menurut Thobib, peristiwa di Pesantren Al Khoziny mendapat perhatian serius dari Menteri Agama. Karenanya, Menag langsung melakukan tinjauan ke lapangan.
“Menag sudah berkunjung beberapa hari lalu. Menag melihat langsung sebagai upaya Kemenag memahami masalah dan berempati kepada para korban dan pesantren. Menag hadir untuk mengetahui dan melihat langsung apa yang terjadi di sana,” sebut Thobib.
Dijelaskan Thobib, Kemenag menilai ada hal yang perlu diperbaiki di masa mendatang. Kejadian di Pesantren Al Khoziny menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk diambil hikmah sekaligus disusun upaya perbaikan dan pencegahan.
“Kemenag berkepentingan melakukan perbaikan ke depan bersama pesantren untuk menjaga dan memastikan seluruh gedung bisa memberikan keamanan dan kenyamanan bagi santri. Ini akan kami diskusikan bersama pimpinan pesantren, terkait prosedur pembangunan,” papar Thobib.
“Kami di Kemenag ingin membersamai warga pesantren agar hal ini tidak terjadi di masa mendatang. Kami juga akan berkoordinasi dengan Kementerian PU (Pekerjaan Umum) dan pihak terkait untuk mensosialisasikan dan memberikan pengetahuan agar seluruh proses pembangunan ke depan sesuai standar,” sambungnya.
Pesantren adalah lembaga khas Indonesia yang sejak lama berkontribusi dalam pengembangan ilmu, budaya, dan pembentukan karakter. Pesantren Al Khoziny bahkan sudah berkiprah lebih dari satu abad. Dari pesantren ini, lahir para pahlawan nasional dan tokoh bangsa, antara lain KH Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulam.
“Masyarakat tidak perlu khawatir memasukan anaknya ke pesantren. Kami dari Kemenag akan terus mengawal hal ini agar masalah ini tidak terjadi di masa mendatang,” tandasnya. (H-2)