Liputan6.com, Jakarta Xabi Alonso datang ke derbi pertamanya sebagai pelatih Real Madrid dengan optimisme tinggi. Enam kemenangan beruntun di awal musim membuat publik mulai membicarakan rekor 100 poin di La Liga. Namun, harapan itu runtuh seketika di Metropolitano.
Real Madrid dipermalukan 2-5 oleh Atletico Madrid, kekalahan terburuk mereka dalam derbi selama hampir 75 tahun. Kekalahan ini bukan hanya soal skor, tetapi juga tentang dominasi total lawan. Tim muda Alonso tak berdaya menghadapi intensitas pasukan Diego Simeone.
Hasil ini menjadi pukulan keras bagi proyek baru Alonso di Bernabeu. Gagasan taktik modern dan skuad penuh talenta muda yang selama ini mengilap, kali ini runtuh di hadapan realitas keras sepak bola kompetitif.
Generasi Muda di Panggung Derbi
Alonso menurunkan salah satu skuad termuda Real Madrid dalam sejarah derbi. Dean Huijsen (20 tahun), Alvaro Carreras (22 tahun), Arda Guler (20 tahun), dan Franco Mastantuono (18 tahun) semuanya tampil dalam laga panas ini. Mereka adalah simbol dari filosofi baru Alonso, cepat, fleksibel, dan berani.
Sebelumnya, Madrid tampil meyakinkan dengan tujuh kemenangan beruntun, nyaris tanpa cela. Namun atmosfer derbi berbeda. Ketegangan, tekanan, dan agresivitas Atletico membuat sistem Madrid runtuh. "Kami kurang intensitas dan tidak bersaing cukup baik," aku Alonso usai laga.
Huijsen dan Carreras, yang didatangkan dengan nilai total 90 juta pounds, tampak gugup. Mereka beberapa kali kehilangan posisi dan gagal membaca pergerakan lawan.
Guler yang awalnya brilian dengan satu assist dan satu gol, justru menjadi sumber petaka saat pelanggaran tingginya menghadirkan penalti untuk Atletico.
Diserang Bertubi, Madrid Tak Siap Bertarung
Diego Simeone tahu celah Real Madrid: lini belakang muda yang belum teruji. Atletico menyerang secara langsung, mengandalkan umpan-umpan vertikal dan tekanan agresif. Hasilnya, Madrid dipaksa bertahan dalam zona sempit dan kehilangan kendali atas bola.
Robin Le Normand dan Alexander Sorloth mencetak dua gol melalui sundulan yang nyaris identik, hasil minimnya koordinasi dan pengalaman di lini belakang Madrid. Setiap bola mati menjadi momok, dan setiap duel fisik menjadi kekalahan.
Simeone bahkan mengaku bahwa intensitas dan bola-bola mati menjadi senjata utama. “Kami membuat mereka merasa pusing,” ujarnya tentang strategi Atletico. Real Madrid yang biasanya tenang dan sistematis, kini tampak panik dan tidak siap secara mental.
Kelemahan Mental dan Minimnya Kepemimpinan
Sumber internal klub mengakui, kurangnya pengalaman dan kepemimpinan di lapangan menjadi faktor utama kekalahan.
Di tengah kekacauan, tak ada sosok yang benar-benar bisa menenangkan situasi. Aurelien Tchouameni dan Eder Militao pun gagal menjadi jangkar.
Franco Mastantuono, pemain muda asal Argentina yang ditebus 63,2 juta euro, justru memperlihatkan frustrasi. Ia mendapat kartu kuning karena menendang bola ke tribun, reaksi emosional yang mencerminkan tekanan yang dialami seluruh tim.
Bagi Alonso, ini menjadi pelajaran berharga. Intensitas, mentalitas, dan kedewasaan adalah pondasi sebelum taktik dapat berfungsi. “Kami sedang membangun sesuatu. Kekalahan ini menyakitkan, tapi kami akan belajar,” kata Alonso.
Proyek Panjang, Tantangan Besar
Empat bulan sejak ditunjuk menggantikan Carlo Ancelotti, Alonso menghadapi realitas keras pekerjaan di Bernabeu.
Ia membawa ide besar, pressing cepat, permainan kolektif, dan kepercayaan pada pemain muda, namun ujian pertama melawan tim berpengalaman seperti Atletico menunjukkan bahwa proses belum selesai.
Madrid memang tengah beregenerasi. Tapi untuk bersaing di level tertinggi, mereka butuh keseimbangan antara energi muda dan jiwa pemimpin. Alonso masih percaya visi jangka panjangnya bisa berhasil, tapi ia tahu perjalanan ini tak akan mudah.
Derbi Metropolitano kali ini akan diingat bukan hanya sebagai kekalahan besar, tapi juga sebagai momen pembelajaran penting dalam membentuk wajah baru Real Madrid.