Liputan6.com, Jakarta Fenomena pemain dipaksa berlatih di luar skuad utama kembali menjadi sorotan. Bukan hanya soal fisik, praktik ini disebut merenggut sisi manusiawi dari sepak bola.
Pemain yang dijauhkan dari rekan-rekannya sering kali merasa diperlakukan bukan sebagai profesional, melainkan sebagai beban yang harus segera disingkirkan.
Kisah terbaru datang dari Chelsea. Raheem Sterling dan Axel Disasi dikabarkan harus menjalani latihan pada jam tak lazim, jauh dari skuad utama. Situasi ini memicu perhatian Asosiasi Pesepakbola Profesional yang menilai perlakuan tersebut tidak pantas.
Fenomena ini bukan hal baru. Manchester United musim panas lalu sempat melakukan hal serupa pada beberapa bintangnya. Sejarah panjang praktik ini menegaskan bahwa klub kerap menggunakan pengasingan latihan sebagai alat tekan, bukan solusi.
Chelsea dan Kasus Sterling-Disasi
Chelsea menjadi sorotan setelah Sterling mengunggah foto dirinya berlatih pukul 20.21. Publik bertanya-tanya, mengapa seorang pemain kelas dunia dipaksa berlatih pada jam yang begitu janggal. Tak lama, laporan muncul bahwa Sterling dan Disasi memang dipisahkan dari skuad utama.
Enzo Maresca, pelatih Chelsea, justru menunjukkan ketidakpeduliannya. Ia menyebut ayahnya yang bekerja sebagai nelayan selama puluhan tahun sebagai pembanding, seakan menyiratkan bahwa pemain seharusnya menerima kondisi apa pun.
Perlakuan ini memunculkan intervensi dari PFA, yang menilai pemain tetap berhak mendapatkan lingkungan latihan yang profesional dan layak. Kasus Chelsea ini seakan menegaskan bahwa pengasingan latihan bukanlah metode pembinaan, melainkan bentuk tekanan.
Pengalaman di Manchester City: Cerita Lama yang Terulang
Fenomena serupa pernah terjadi di Manchester City di era Roberto Mancini. Beberapa pemain, termasuk Craig Bellamy, Emmanuel Adebayor, dan Wayne Bridge, dipisahkan dari skuad utama dan bahkan dilarang masuk kompleks latihan sebelum rekan-rekan mereka selesai.
Pemisahan ini tidak hanya merugikan pemain senior, tetapi juga memukul kepercayaan diri pemain muda yang harus berhadapan dengan lawan yang levelnya terlalu tinggi. Dalam satu kasus, seorang bek muda disebut kehilangan rasa percaya diri setelah berminggu-minggu mencoba mengawal Adebayor.
Bahkan, pengasingan itu berubah menjadi tekanan psikologis. Pemain diberi jadwal khusus, seperti berlatih sendiri pada sore hari atau bahkan di akhir pekan ketika tim lain mendapat libur. Bagi banyak pemain, hal itu terasa lebih sebagai penghinaan ketimbang latihan.
Ketika Klub Menggunakan Psikologis Sebagai Senjata
Kisah Sterling dan Disasi memperlihatkan bahwa pola ini tetap berulang. Pemain dipaksa berlatih terpisah sebagai strategi klub untuk memaksa mereka pergi. Waktu latihan sengaja dipilih agar tidak nyaman, bahkan dirancang agar mereka kehilangan kontak dengan rekan satu tim.
Bagi pemain, kondisi ini merusak motivasi sekaligus menciptakan jarak dengan klub yang mereka bela. Banyak dari mereka akhirnya memilih hengkang, bukan karena keinginan pribadi, tetapi karena merasa dipaksa keluar.
Klub beralasan manajemen skuad tak bisa menampung terlalu banyak pemain. Namun, cara mengasingkan dengan jam latihan aneh atau pelarangan akses fasilitas justru menegaskan sisi bisnis yang kejam dalam sepak bola modern.
Antara Hak Pemain dan Kuasa Klub
Fenomena pengasingan ini menegaskan betapa besarnya kuasa klub dibanding pemain. Kontrak dan gaji sering dijadikan dalih bahwa pemain harus menerima perlakuan apa pun. Padahal, bagi mereka, kehilangan kesempatan berlatih bersama tim jauh lebih merugikan daripada isu finansial.
Kisah Sterling, Disasi, hingga pengalaman di Manchester City menunjukkan bagaimana klub bisa membuat hidup pemain terasa seperti penjara. Pada akhirnya, pemain terpaksa memilih jalan keluar, meski bukan keinginan mereka.
Mungkin inilah sisi gelap sepak bola yang jarang dibicarakan. Pemain memang bintang di lapangan, tetapi di balik layar, mereka bisa dipaksa menanggung perlakuan keras.