Liputan6.com, Jakarta Keracunan makanan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di beberapa daerah. Bahkan, Kabupaten Bandung Barat menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) usai ratusan anak-anak di sana mengalami keracunan.
Menanggapi situasi tersebut, epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menyebut bahwa keracunan makanan dari program MBG sebetulnya bisa dicegah sepenuhnya. Caranya dengan memperhatikan standar kebersihan dan sanitasi yang menjadi dasar masalah.
Dicky menekankan bahwa bila keracunan makanan berulang itu bukan hal wajar.
“Kejadian berulang bukan harga yang wajar, bukan hal yang wajar, melainkan sinyal kegagalan sistem, sinyal kegagalan governance-nya, kapasitas pembinaan dan juga pengawasan,” ujarnya.
Menurut data yang disampaikan oleh pemerintah, dari 8.583 dapur MBG hanya 34 dapur yang mendapatkan sertifikat laik higiene dan sanitasi (SLHS). Artinya, hanya sebanyak 0,4 persen dari dapur yang tersedia yang layak digunakan untuk produksi MBG.
Kemudian, dari total 1.379 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersedia, hanya sebanyak 413 yang disebut memiliki SOP keamanan pangan.
SOP Masih Sangat Rendah dan Perlu Ditangani
Di samping itu, dari 413 SPPG yang memiliki SOP ternyata hanya sekitar 312 yang menjalankannya dengan benar. Artinya, hanya sekitar 22 persen dari total Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah berjalan sesuai dengan standar.
Menurutnya, kondisi ini sangat memprihatinkan dan bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Ia menekankan bahwa rendahnya cakupan sertifikasi dan implementasi SOP menjadi potensi penyebab masalah keracunan makanan yang terus meningkat.
Sementara, di beberapa tempat kasus keracunan terkesan ditutupi dan tidak transparan, yang membuat kasus ini dipandang semakin serius.
“Intinya jelas cakupan sertifikasi dan implementasi SOP masih sangat rendah dan itu harus segera ditangani,” ujarnya.
Keracunan Makanan: Kegagal Kontrol Risiko
Dicky mengatakan, KLB keracunan MBG di Bandung Barat jadi bukti nyata adanya kegagalan pada kontrol risiko dalam rantai penyediaan makanan.
“Kalau katakanlah data di KLB keracunan yang terjadi di Bandung Barat dengan kurang lebih 400-an korban, ini menunjukkan kegagalan kontrol risiko di titik kritis rantai penyediaan makanan,” jelasnya.
Dicky menyebut, kegagalan rantai penyediaan makanan tersebut mencakup penjamah makanan, air, bahan baku, penyimpanan, pemasakan, serta distribusi. Tidak terkecuali pada proses pendinginan dan pemanasan ulang makanan.
Menurut Dicky, kasus keracunan pangan di sekolah tidak bisa dianggap sebagai suatu hal sepele.
“Nah apakah ini wajar? Tentu tidak. Dan keracunan pangan sekolah itu bersifat sepenuhnya harusnya dapat dicegah dengan standar higiene dan sanitasi di dasarnya,” tutupnya.