
Seminggu berlalu sejak Badan Gizi Nasional (BGN) menonaktifkan sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Senin, 29 September 2025. Ironisnya, yang ditutup hanyalah sebagian kecil, hanya yang diduga terlibat langsung dalam kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sementara ribuan dapur lain yang tetap beroperasi, seolah diabaikan dari potensi bahaya yang sama. Padahal, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sejak awal telah mendesak agar seluruh SPPG dihentikan sementara, bukan hanya yang bermasalah secara terbuka.
"Sebab akar masalah MBG jauh lebih kompleks daripada sekadar kasus keracunan, mulai dari lemahnya standar pengawasan, distribusi bahan pangan yang tidak layak, hingga manipulasi data pelaporan," kata Kornas JPPI Ubaid Matraji dalam keterangannya, Minggu (5/10).
Sayangnya, desakan JPPI ini tidak digubris oleh BGN. Akibatnya, meski beberapa SPPG ditutup, korban anak terus berjatuhan, bahkan meningkat.
Catatan JPPI menunjukkan, dalam sepekan pasca penutupan sebagian SPPG dari 29 September hingga 3 Oktober 2025, jumlah korban keracunan justru naik menjadi 1.833 anak, lebih tinggi dari rata-rata korban mingguan selama September yang mencapai 1.531 anak/minggu.
Dengan tambahan itu, total korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 telah menembus 10.482 anak.
“Dengan data ini, kita bisa simpulkan, penutupan sebagian SPPG sama sekali tidak efektif. Selama dapur MBG masih beroperasi, korban akan terus berjatuhan. Karena itu, BGN harus segera menghentikan seluruh SPPG di Indonesia sebelum korban bertambah lebih banyak,” ujar Ubaid.
Selain ledakan jumlah korban, JPPI juga menemukan sejumlah fakta mengkhawatirkan sepanjang pekan ini (29 September–3 Oktober 2025):
1. Kasus menyebar ke dua provinsi baru. Sumatera Barat (122 anak) dan Kalimantan Tengah (27 anak) kini tercatat sebagai wilayah baru dalam daftar korban keracunan MBG.
2. Lima provinsi dengan korban terbanyak pekan ini. Jawa Timur (620 anak), Jawa Barat (555 anak), Jawa Tengah (241 anak), Sumatera Barat (122 anak), dan Nusa Tenggara Timur (100 anak).
3. Gelombang penolakan dari sekolah dan orang tua murid. Penolakan terhadap MBG bermunculan di berbagai daerah: Tasikmalaya, Madura, Agam, Yogyakarta, Jakarta, Serang, Semarang, Batu, Polewali Mandar, dan Rembang.
4. Intimidasi SPPG terhadap masyarakat dan jurnalis. Sejumlah wartawan, aktivis, wali murid, dan siswa di Jakarta, Batam, Garut, dan Tuban mengalami tekanan, teror, hingga ancaman hukum karena bersuara soal kasus MBG.
5. Guru ikut jadi korban. Sejumlah guru yang bertugas mencicipi dan mengawasi makanan MBG juga mengalami keracunan, antara lain di Cianjur, Ketapang, Sleman, Garut, Agam, dan Bandung Barat.
“Temuan-temuan ini memperkuat bukti bahwa MBG bukan sekadar program bermasalah, tetapi kegagalan sistemik dalam tata kelola gizi nasional. BGN tidak bisa lagi berpura-pura mengendalikan situasi dengan langkah setengah hati," ungkapnya.
JPPI menegaskan, keselamatan anak jauh lebih penting daripada pencitraan kebijakan. Karena itu, hentikan semua dapur MBG sekarang juga. Jangan biarkan meja makan anak Indonesia berubah menjadi meja darurat rumah sakit.
Tuntutan JPPI
Sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap keselamatan anak-anak Indonesia, JPPI menyampaikan lima tuntutan tegas kepada BGN:
1. Tutup seluruh dapur MBG (SPPG) secara nasional sampai audit program dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan partisipatif. Jika tidak semua dapur ditutup, dihawatirkan jumlah korban dan keselamatan nyawa anak terus terancam.
2. Hapus kebijakan yang mewajibakan guru cicipi MBG. Kebijakan ini sangat merendahkan martabat profesi guru. Mereka mengemban misi mulia dalam pendidikan, bukan malah diberikan insentif murahan dengan risiko taruhan nyawa.
3. Berikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang dengan sadar membiarkan praktik berbahaya ini terus berlangsung. Peristiwa yang menimbulkan ribuan korban dan terjadi berulang kali tidak lagi dapat disebut sebagai kelalaian, melainkan bentuk pembiaran dan pelanggaran tanggung jawab terhadap keselamatan anak.
"MBG ini seharusnya menjadi simbol perhatian negara terhadap anak, bukan bukti abainya negara terhadap nyawa mereka. Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan mengutamakan keselamatan anak di atas segalanya," ungkapnya.
"Janganlah jadikan anak sebagai kelinci percobaan MBG dengan mengatasnamakan program pemenuhan gizi," pungkasnya. (P-1)