Liputan6.com, Jakarta - Permasalahan keamanan data TikTok tak disangka membuat persoalan yang kompleks. Sistem analisis preferensi dan ketertarikan setiap pengguna TikTok menjadi momok 'mengerikan' bagi Negeri Paman Sam.
Menindaklanjuti hal tersebut, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali mengambil langkah tegas. Perintah eksekutif lagi-lagi dikeluarkan, memaksa ByteDance agar menjual TikTok ke investor AS, senilai USD 14 miliar (sekitar Rp 234 triliun).
Mengutip Reuters, Senin (29/9/2025), Presiden Donald Trump resmi menandatangani perintah eksekutif. Perintah ini menjadi landasan hukum terbaru bagi kelanjutan nasib TikTok di AS.
Tujuan utama dari perintah kali ini untuk memastikan penjualan operasi TikTok di AS dapat segera terwujud. Proses ini dilakukan dalam rangka memenuhi mandat undang-undang keamanan nasional tahun 2024.
Menurut informasi yang beredar, hadirnya kesepakatan ini akan menyerahkan kendali TikTok kepada investor AS dan global. Langkah tersebut diambil untuk mengatasi kekhawatiran atas keamanan data pengguna yang disimpan di luar negeri.
Struktur Kepemilikan TikTok di AS bakal Berubah?
Meskipun perintah eksekutif telah dikerahkan untuk memaksa ByteDance menjual TikTok, Trump tetap akan memberlakukan penegakan hukum dan pelarangan penggunaan aplikasi, namun dengan kompromi baru.
Wujud utama dari kompromi yang berlaku memberikan ekstensi batas waktu aplikasi TikTok sebelum diblokir. Batas waktu baru ditetapkan hingga 20 Januari 2026.
Walau memberikan kelonggaran berupa kompromi waktu pemblokiran, tak dapat dipungkiri pemaksaan penjualan ini mengubah struktur kepemilikan TikTok di AS. Induk perusahaan China, ByteDance, akan menjadi pemegang saham minoritas.
Berdasarkan kabar yang beredar, saham ByteDance pada TikTok AS akan ditekan sampai di bawah 20 persen. Alasan dari penekanan ini untuk membuat induk perusahaan tersebut tetap mematuhi persyaratan ketat yang ditetapkan dalam undang-undang.
Di sisi lain, daftar nama investor besar dari AS yang telah berjanji akan membeli TikTok juga telah muncul. Beberapa perusahaan Big-Tech seperti Oracle dan firma ekuitas swasta Silver Lake, disebut-sebut akan mengambil porsi saham signifikan.
Selain itu, nama-nama dari sosok besar seperti CEO di Dell Technologies, Michael Dell dan seorang Media Mogul (pemiliki banyak media besar), Rupert Murdoch juga disebut akan bergabung dalam konsorsium investor kelas dunia ini.
Nasib Algoritma TikTok Terancam
Terjadinya blokade dan penekanan terhadap ByteDance untuk menjual TikTok telah menyita perhatian publik. Namun, di tengah hiruk pikuk permasalahan keamanan data yang ada, terdapat satu isu krusial dalam kesepakatan ini.
Isu krusial tersebut adalah nasib algoritma TikTok, sebuah sistem teknologi yang dianggap sebagai aset paling berharga milik perusahaan.
Bagaimana Nasib Algoritma TikTok?
Salah satu isi dari perintah eksekutif Donald Trump menyatakan bahwa algoritma akan berada di bawah kendali mitra keamanan AS untuk dipantau dan dilatih kembali.
Hadirnya keputusan dan intensi untuk meregulasi ulang sistem tersebut membuat esensi utama dari terciptanya algoritma TikTok berubah.
Digunakan untuk melihat ketertarikan pengguna aplikasi akan suatu konten video, mungkin saja ke depannya, algoritma TikTok digunakan sebagai alat penentu akan preferensi yang sama sekali tidak bisa dilawan atau pun diubah.
Meskipun terdengar berbahaya, sayangnya 'pemaksaan' oleh Presiden AS, Donald Trump telah mendapatkan persetujuan langsung dari Presiden China, Xi Jinping.
Kontroversi Nilai Valuasi Tak Sebanding dan Keraguan Publik
Paksaan penjualan TikTok ke AS oleh Donald Trump menuai banyak pertanyaan sejumlah kalangan yang menganggap angka itu jauh lebih rendah dari perkiraan pasar.
Dilaporkan Reuters, analis dari Wedbush Securities, Dan Ives, memprediksi nilai TikTok AS jauh lebih tinggi daripada USD 14 miliar.
Menurut perkiraannya, valuasi aplikasi tersebut tanpa sistem teknologi algoritma pada April 2025 berada di kisaran USD 30-40 miliar (sekitar Rp 501 – Rp 668 triliun).
Perkiraan ini menimbulkan akuntabilitas Gedung Putih dalam menentukan tingkat valuasi suatu aset dipertanyakan. Sayangnya, sampai saat ini belum ada rincian resmi dari metodologi penilaian dari lembaga pemerintah tersebut.
Hal ini menuai keraguan di kalangan ahli keuangan, serta mendatangkan ketidakpastian mengenai detail akhir dari kesepakatan yang terjadi.