Liputan6.com, Jakarta - Keamanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi hal yang amat krusial. Pasalnya, setiap hidangan akan dikonsumsi oleh anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non-PAUD.
“MBG bukan sekedar transfer pangan, akan tetapi bertujuan untuk memperbaiki kondisi gizi pada fase paling kritis dalam kehidupan, sehingga memberikan imbas jangka panjang pada kualitas sumber daya manusia (SDM),” kata Perencana Ahli Madya/Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, Ni Made Ari Listiani, SS, M.Hum dalam keterangan pers dikutip pada Minggu (28/9/2025).
Dia menyoroti MBG bagi ibu menyusui (busui), ibu hamil (bumil), dan bawah lima tahun (balita) atau B3. Menurutnya, intervensi gizi yang tepat di masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan (1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK) amatlah penting. Yakni untuk memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak—yang akhirnya berdampak pada kemampuan belajar, pencapaian pendidikan, dan produktivitas ekonomi saat dewasa.
Maka, program MBG dengan sasaran B3 menjadi sebuah investasi pembangunan manusia, bukan hanya soal pengeluaran sosial.
“Agar MBG benar-benar menjadi investasi, pelaksanaannya harus aman dan berkualitas: standar gizi menu, keamanan pangan, rantai pasok yang andal, serta monitoring hasil (outcome gizi dan kesehatan),” katanya.
Maraknya kasus keracunan makan bergizi gratis, membuat orang tua khawatir. Sebagian memilih membawakan anaknya bekal, meski MBG dibagikan di sekolah.
Desain MBG Perlu Perbaikan
Sayangnya, hingga kini banyak kasus keracunan hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai wilayah.
Ini menjadi alarm keras untuk menyoroti pentingnya pengawasan kualitas. Pasalnya, masalah keamanan pangan dapat merusak kepercayaan dan hasil program jika tidak ditangani.
“Oleh sebab itu, desain MBG harus memasukkan SOP keamanan pangan, pelibatan komunitas, dan sistem pelaporan real-time,” kata Ni Made Ari.
Ia setuju bahwa menjamin akses gizi bagi ibu hamil, menyusui, dan balita non-PAUD adalah langkah strategis dan merupakan investasi kecil hari ini yang mencegah kerugian produktivitas besar di masa depan.
“Ketika kebijakan gizi dini didesain baik—terintegrasi, diawasi, dan ditujukan pada 1.000 HPK—Indonesia sedang memperkuat fondasi SDM yang sehat, cerdas, dan produktif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” ucapnya.
Peran MBG Sasaran B3
Jika berjalan dengan baik, sebetulnya MBG bisa membawa manfaat besar bagi sasaran B3.
Praktik konkret dari program MBG dengan sasaran 3B bisa berupa pemberian paket makanan yang kaya protein (misalnya susu, daging, ikan, kacang-kacangan), zat besi, dan mikronutrien lain seperti vitamin A dan yodium.
Selain itu, MBG bisa meliputi suplementasi khusus—misalnya tablet zat besi ditambah asam folat untuk ibu hamil (sesuai rekomendasi harian 30–60 mg zat besi elemental + 400 μg asam folat). Ini sebagai upaya mencegah anemia dan mendukung pertumbuhan janin.
Di samping itu, edukasi gizi kepada keluarga sangat penting. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian edukasi gizi pada ibu hamil meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik diet yang lebih baik.
Bagi ibu menyusui, dukungan gizi yang memadai memengaruhi kualitas dan konsentrasi mikronutrien dalam ASI—misalnya status vitamin A dan karotenoid ibu berhubungan erat dengan kandungannya di ASI. Dengan demikian, MBG dapat memperkuat kualitas ASI, mendukung tumbuh kembang bayi secara optimal.
Manfaat MBG untuk Balita
Untuk balita non-PAUD (balita yang belum masuk PAUD), kelompok ini sering lebih rentan terhadap kekurangan gizi karena mereka tidak terjangkau program pendidikan gizi atau layanan tambahan.
MBG dapat mengurangi kesenjangan akses gizi dan membantu memastikan bahwa balita di luar jalur formal tetap mendapatkan asupan nutrisi yang memadai.
Dengan intervensi ini, kelompok-kunci tidak “tertinggal” dalam perjalanan menuju generasi dengan sumber daya manusia unggul menjelang Indonesia Emas 2045. Namun, yang perlu menjadi catatan kritis adalah soal implementasi, keamanan pangan, dan monitoring-nya.