Liputan6.com, Jakarta Perasaan takut dihakimi saat curhat membuat banyak orang enggan untuk bercerita pada orang lain. Di sisi lain, teknologi kecerdasan buatan semakin maju. Kecerdasan buatan atau yang dikenal dengan AI berbentuk Chatbot AI kini banyak digunakan, bahkan dianggap sebagai teman virtual.
Banyak remaja generasi Z dan Alpha yang hidup berdampingan dengan internet memilih untuk curhat dengan AI dibandingkan pada orang lain, merasa lebih aman tanpa bayang-bayang disalahkan maupun dihakimi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Yuliana Eva Riany.
“Bagi remaja, AI dianggap netral dan tidak menghakimi. Mereka merasa lebih aman mengungkapkan perasaan tanpa takut dimarahi, disalahkan, atau diejek,” jelas Yuliana mengutip situs resmi IPB University.
Lebih lanjut, Yuliana menyebut, hadirnya AI yang tersedia selama 24 jam membuat banyak remaja menganggapnya sebagai ‘teman virtual alami’.
Risiko Curhat Pada AI
Maraknya tren curhat dengan AI memicu berbagai reaksi di kalangan pakar. Yuliana menegaskan, tren ini perlu dipahami secara kritis karena menyimpan peluang sekaligus tentangan pada tumbuh kembang remaja.
Menurutnya, jika tidak dikelola dengan baik, fenomena curhat pada AI bisa menimbulkan risiko yang serius, mulai dari ancaman siber hingga dampak psikologis.
“Remaja bisa saja mengalami kebocoran data pribadi karena interaksi mereka tersimpan di server layanan AI,” ujar Yuliani.
Ketergantungan emosional pada AI disebut memiliki potensi menghambat kemampuan sosial remaja. AI yang selalu memberi respons instan dinilai dapat membuat remaja kehilangan pelajaran mengelola frustasi, menunggu, atau bernegosiasi dengan orang lain.
“Keterampilan empati, membaca ekspresi wajah, dan komunikasi nyata bisa tereduksi jika semua curhat digantikan AI,” tambah Yuliani.
Di balik sisi positif yang AI berikan, sebagai penampung emosi, tren curhat kepada AI mencerminkan adanya kesenjangan komunikasi antara remaja dengan orang tua maupun lingkungan sosialnya.
Pentingnya Peran Orang Terdekat
Lebih lanjut, Yuliani menekankan, peran orang tua dan sekolah sangat penting. Menurutnya, orang tua perlu membangun komunikasi dua arah, mendengarkan tanpa menghakimi, sekaligus memberikan literasi digital tentang bahaya berbagi data pribadi.
“Sesekali tanyakan kepada anak, dengan cara suportif, apa yang ia bicarakan dengan AI. pendampingan aktif ini krusial agar remaja tidak salah langkah,” tuturnya.
Bagi sekolah, Yuliana menyarankan untuk mendesak integrasi literasi digital dan emosional untuk masuk dalam kurikulum. Menurutnya, guru bimbingan konseling (BK) juga perlu memahami fenomena ini agar remaja tetap nyaman bicara dengan manusia.
“Sekolah dapat membentuk peer support system, yakni kelompok teman sebaya terlatih untuk mendengarkan. Dengan begitu, remaja tidak hanya bergantung pada Ai,” jelasnya.
Fenomena Ini Seharunya Jadi Bahan Refleksi
Menurut Yuliana, adanya tren remaja curhat pada AI seharunya menjadi refleksi bagi orang tua dan warga sekolah untuk memperkuat komunikasi yang sehat di rumah dan lingkungan sekolah. Begitupun bagi penyedia layanan AI, momentum ini bisa dijadikan bahan evaluasi.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar penyedia platform AI bisa menerapkan moderasi konten ketat, transparansi data, serta safeguard otomatis untuk merespons kata kunci berbahaya.
Ia menambahkan, AI tidak bisa menggantikan fungsi manusia sebagai pendengar. “AI sebagiknya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti psikolog atau konselor. AI hanyalah alat, bukan pengganti relasi manusia,” pungkasnya.