Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Organisasi Profesi Kesehatan meminta pemerintah meningkatkan atau memperbaiki aspek quality control atau kontrol kualitas makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Program Makan Bergizi Gratis perlu dibuat quality control yang lebih baik untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan,” mengutip keterangan resmi yang ditandatangani Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto, dan ketua organisasi profesi kesehatan lainnya pada Senin, 29 September 2025.
Diketahui, Aliansi Organisasi Profesi Kesehatan ini terdiri dari:
- lkatan Dokter lndonesia (lDl)
- Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
- lkatan Bidan lndonesia (lBl)
- lkatan Apoteker lndonesia (lAl)
- Persatuan Ahli Gizi lndonesia (PERSAGI).
Aliansi ini juga mengatakan bahwa mereka mendukung Program MBG. Mereka menilai, ini adalah program yang sangat baik dari pemerintah dan bertujuan untuk meningkatkan status gizi masyarakat lndonesia. Guna menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas khususnya anak-anak, balita, ibu hamil dan ibu menyusui demi membangun fondasi generasi mendatang yang sehat, cerdas, dan tangguh.
Aliansi juga menyampaikan bahwa program MBG perlu diperluas jumlah cakupannya kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya untuk anak-anak, balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Karena, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan dan mencukupi kebutuhan gizi.
“Kami Aliansi Organisasi Profesi Kesehatan (lDl, PPNI, lBl, lAl dan PERSAGI) siap membantu dan dilibatkan oleh pemerintah untuk mensukseskan program MBG terkait dengan quality control di 514 kota / kabupaten seluruh Indonesia.”
Setibanya di Tanah Air, usai lawatan ke empat negara. Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat dengan sejumlah Menteri guna membahas sejumlah hal, termasuk maraknya keracunan menu MBG. Pemerintah mengevaluasi kewajiban syarat dapur SPPB sebagai peny...
Kasus Keracunan MBG hingga 27 September 2025
Sementara itu, korban keracunan hidangan MBG sudah mencapai 8.649 anak hingga 27 September 2025.
Berarti, terjadi lonjakan jumlah korban keracunan, sebanyak 3.289 anak dalam dua pekan terakhir. Data ini diungkap Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Pada September ini, jumlah korban keracunan per minggunya selalu mengalami peningkatan. Penambahan Jumlah korban terbanyak terjadi pada satu pekan lalu (22-27 September 2025), korban mencapai 2.197 anak.
“Alih-alih memberi pemenuhan gizi, makanan yang disediakan negara justru membuat ribuan anak keracunan massal. Tangis anak-anak pecah di ruang kelas, antrean panjang di rumah sakit, keresahan orangtua, dan trauma makan MBG adalah bukti nyata bahwa program ini gagap mencapai tujuan,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis, Senin (29/9/2025).
Pemerintah Hanya Tutup SPPG Bermasalah
Atas kejadian ini, JPPI mengecam respons pemerintah yang hanya menutup Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terdapat kasus keracunan.
“Bagiamana dengan SPPG lain yang juga terbelit berbagai masalah lainnya? Ini adalah pendekatan tambal sulam, ini dinilai sangat berbahaya dan mengabaikan akar permasalahan,” ujar Ubaid.
Dia menilai, keracunan hanyalah puncak gunung es. Masalah MBG lebih dalam dari itu.
“Kami menemukan praktik menu di bawah standar, pengurangan harga per porsi, konflik kepentingan, hingga pembungkaman suara kritis di sekolah. Karena itu, kami menuntut semua dapur dihentikan sementara untuk evaluasi dan pembenahan total,” papar Ubaid.
3 Masalah Dasar dalam Pelaksanaan MBG
Evaluasi JPPI juga mengungkap tiga masalah fundamental yang menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaan MBG, yakni:
Buruknya Pemahaman Gizi dan Pangan
Misalnya, soal menu yang disajikan. Masalahnya tidak hanya berhenti pada soal kualitas gizi, tetapi juga adanya penyeragaman menu tanpa mempertimbangkan sumber daya pangan lokal.
“Hal ini justru bertentangan dengan jargon swasembada pangan pemerintah,” kata Ubaid.
Struktur Kepemimpinan yang Keliru
Badan Gizi Nasional (BGN) yang seharusnya dikelola oleh pakar gizi, ahli pangan, dan tenaga kesehatan, justru didominasi oleh purnawirawan militer.
Eksklusi Sekolah dan Partisipasi Masyarakat Sipil
Ubaid menilai, sekolah seolah-olah hanya dijadikan objek dari program ini, padahal MBG telah banyak mencaplok anggaran pendidikan.
Sekolah tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan juga pengelolaan program ini. bahkan, peraturan dan pelaksanaan program berjalan tanpa partisipasi dan transparansi publik.
“Ambisi yang hanya mengejar target kuantitas, terbukti telah mengabaikan standar akuntabilitas, keamanan, dan keselamatan anak. Program ini dijalankan terburu-buru untuk pencitraan politik, bukan perlindungan dan pemenuhan gizi anak. Anak-anak kita adalah pemimpin masa depan bangsa, ia bukan prajurit yang bisa dikorbankan,” tambah Ubaid.