Liputan6.com, Jakarta - Program Adiwiyata yang dicanangkan pemerintah untuk menumbuhkan budaya peduli lingkungan di sekolah masih menghadapi banyak tantangan di lapangan.
Salah satunya adalah proses administrasi yang panjang dan berjenjang, sehingga membuat sebagian sekolah kehilangan motivasi untuk naik ke level nasional.
Direktur Eksekutif Secercah Harapan Indonesia di Yogyakarta, Maulana Sriyono, menilai perubahan regulasi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2025 menjadi langkah penting untuk mempercepat pelaksanaan program ini.
"Kalau kita melihat data sekolah Adiwiyata di Indonesia, itu memang masih jauh banget. Masih di 80–10 persen kalau saya perhatikan dari data itu. Nah, ini memang betul-betul harus kita paksa," kata Maulana.
Menurutnya, banyak sekolah sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk naik ke tingkat nasional. Namun, lamanya prosedur administrasi membuat mereka harus menunggu bertahun-tahun, sehingga menurunkan semangat.
"Sekolah terkadang merasa jenuh karena menunggu terlalu lama. Padahal nilainya sudah bagus, tapi tetap harus mengikuti levelnya," ujarnya.
Madrasah Lebih Gesit Gerakkan Adiwiyata
Menariknya, Maulana menilai madrasah justru lebih gesit dalam menggerakkan budaya peduli lingkungan. Di beberapa daerah, madrasah bahkan bergerak lebih cepat dibanding sekolah umum, meski terkendala aturan yang sama.
"Kalau kita bicara madrasah, saya sering melihat mereka lebih semangat. Bahkan, ketika sekolah umum masih ragu, madrasah sudah duluan bergerak," katanya.
Maulana mencontohkan di Yogyakarta dan Klaten, madrasah mampu menunjukkan gerakan lingkungan yang kuat berkat koordinasi dengan Kementerian Agama.
Di Jogja, tepatnya di Kampung Madan, Sleman, sebelum pandemi sudah ada gerakan lingkungan yang kuat di madrasah. Bahkan, gerakannya lebih besar dibanding sekolah umum di sekitarnya.
"Hal serupa juga saya temui di Jawa Tengah, misalnya di Kabupaten Klaten. Di sana, saya bersama teman-teman dari Danone mencoba membuat kegiatan pendampingan dan hasilnya madrasah kembali menunjukkan peran yang menonjol," ujarnya.
Perlu Pemangkasan Prosedur
Lambatnya proses kenaikan level Adiwiyata menjadi keluhan utama banyak sekolah. Prosedur berjenjang dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional dianggap terlalu panjang.
"Padahal sering kali sekolah sudah memiliki nilai yang cukup bagus. Jika dilihat dari kapasitasnya, mereka sebenarnya sudah layak naik ke tingkat nasional," ujarnya.
Namun, karena ada aturan berjenjang, sekolah tetap harus mengikuti prosedur dari tingkat provinsi terlebih dahulu, baru kemudian nasional. "Belum lagi ada persoalan di internal sekolah yang berkaitan dengan kebijakan, sehingga prosesnya makin terhambat," ujar Maulana.
Dia, menegaskan, regulasi baru bisa menjadi angin segar bagi sekolah untuk lebih cepat mendapatkan pengakuan. Dengan begitu, motivasi sekolah akan kembali tumbuh dan budaya peduli lingkungan bisa semakin kuat.
"Dengan adanya regulasi baru ini bisa memotong prosedur itu sehingga sekolah lebih cepat mendapat pengakuan. Hal ini diharapkan bisa mengembalikan semangat sekolah agar terus memperkuat budaya peduli lingkungan," tambahnya.
Menurut Maulana, pengalaman madrasah di berbagai daerah membuktikan bahwa gerakan peduli lingkungan tidak hanya bergantung pada sekolah umum. Madrasah bahkan bisa menjadi pelopor jika diberi ruang lebih besar.
"Jadi, jangan lagi melihat gerakan lingkungan hanya dari sekolah umum. Madrasah sudah membuktikan mereka bisa jadi penggerak utama," pungkas Maulana.
Dengan dukungan regulasi baru dan semangat dari madrasah, diharapkan Program Adiwiyata dapat berkembang lebih cepat dan merata di seluruh Indonesia.