Liputan6.com, Jakarta Barcelona menuju jeda internasional kedua musim ini dengan kepala tertunduk. Bukan hanya karena kekalahan, tetapi karena cara mereka kalah. Bertandang ke markas Sevilla pada pekan ke-8 La Liga, pasukan Hansi Flick dipermalukan dengan skor telak 1-4—hasil dari pertahanan rapuh dan serangan yang kehilangan arah.
Di sisi lain, Sevilla tampil menggigit. Mereka bermain agresif, menekan tinggi, dan memanfaatkan setiap kesalahan lawan. Flick sendiri mengakui bahwa gaya bermain Sevilla benar-benar membuat Barcelona kewalahan. Dari semua pemain di lapangan, satu nama paling menyita perhatian: Alexis Sanchez.
Mantan pemain Barcelona itu membuka pesta gol Sevilla lewat penalti di babak pertama. Namun, bukan golnya yang paling menarik perhatian, melainkan selebrasinya. Sebab, sebelumnya, Sanchez sempat berjanji tak akan merayakan gol jika mencetak gol ke gawang mantan klubnya.
Antara Janji dan Emosi yang Meledak
Setelah pertandingan, Sanchez menjelaskan alasan di balik selebrasi yang menyalahi janjinya sendiri. “Saya sudah mengatakan tidak akan merayakan, tetapi terkadang emosi menguasai saya, dan hasrat membuat saya melakukannya. Sebenarnya, saya memiliki rasa cinta yang besar kepada Barcelona,” ujarnya, dikutip Barca Universal.
Kalimat itu menggambarkan dilema seorang pemain yang terjebak antara masa lalu dan ambisi saat ini. Bagi Sanchez, gol itu bukan sekadar angka di papan skor, melainkan luapan emosi dari perjalanan panjang kariernya—dari idola Camp Nou hingga motor serangan Sevilla.
Tak banyak yang bisa menyalahkan Sanchez. Penampilannya di laga tersebut memang luar biasa. Ia menjadi poros utama serangan Sevilla, memberi tekanan tanpa henti pada lini belakang Barcelona yang limbung. Bahkan, gol penalti yang dicetaknya berawal dari kerja keras rekan setimnya, Isaac Romero, yang dijatuhkan Ronald Araujo di kotak penalti.
Wasit sempat menolak memberikan penalti, tetapi keputusan itu dibalik oleh VAR. Araujo yang marah sempat memprotes keras, sementara Sanchez dengan tenang mengeksekusi bola ke gawang dan kemudian—melanggar janjinya sendiri.
Antara Cinta dan Kemenangan
Ada sesuatu yang ironis dari selebrasi itu. Di satu sisi, ia melambangkan pengkhianatan kecil terhadap janji pribadi; di sisi lain, ia menegaskan hasrat abadi seorang pesepak bola: merayakan kemenangan. Sanchez tidak menepati kata-katanya, tetapi ia menepati perannya—sebagai pemain yang memberi segalanya untuk klub yang sedang ia bela.
Bagi Barcelona, kekalahan ini menandai titik evaluasi serius di awal era Flick. Bagi Sanchez, mungkin ini hanya satu gol. Namun, di mata publik Ramon Sanchez Pizjuan, itu adalah malam ketika cinta lama benar-benar dikalahkan oleh gairah saat ini.
Sumber: Barca Universal