Liputan6.com, Jakarta Ruben Amorim tengah menghadapi masa-masa paling genting sejak mengambil alih kursi manajer Manchester United. Semua angka kini berbalik menyerangnya, menunjukkan kegagalan sistematis yang sulit dibantah.
Dari hasil pertandingan hingga catatan produktivitas tim, tak ada satu pun metrik yang memberi harapan. Manchester United terus kalah, kebobolan banyak gol, dan gagal membangun momentum di Premier League.
Meski petinggi klub masih berupaya memberi waktu, kenyataan di lapangan menunjukkan krisis yang tak kunjung reda. Bahkan, dukungan dari ruang rapat tak mampu menutupi kegagalan yang tampak jelas dari data.
Kini, menjelang laga ke-50-nya sebagai manajer, Ruben Amorim hanya bisa berharap keajaiban di Old Trafford. Sebab, satu hasil buruk lagi bisa menjadi akhir dari masa baktinya.
Statistik Buruk yang Tak Terbantahkan
Manajemen sepak bola sejatinya adalah permainan angka. Dan sayangnya, bagi Ruben Amorim, semua angka kini menjadi lawan. Dalam 33 laga Premier League bersama Manchester United, ia hanya mengoleksi 34 poin, rata-rata 1,03 poin per pertandingan.
Dengan 17 kekalahan, Amorim mencatatkan tingkat kemenangan hanya 27,3 persen — terburuk sepanjang era Premier League bagi manajer permanen United. Sebagai perbandingan, David Moyes yang dipecat setelah 10 bulan menjabat punya win rate 50 persen, sementara Ralf Rangnick yang hanya menjadi interim manajer sempat mencatat 41,6 persen.
Lebih parah lagi, United belum pernah menang beruntun di Premier League di bawah Amorim, serta gagal menang tandang sejak Maret lalu. Kekalahan dari Brentford 1-3 akhir pekan kemarin hanya memperdalam jurang yang mereka gali sendiri.
Rekor Suram dan Cermin Kegagalan Sistem
Secara keseluruhan, Amorim memimpin United dalam 49 laga di semua ajang, tetapi mencatatkan lebih banyak kekalahan (21) daripada kemenangan (19). Lebih menyakitkan lagi, total gol dan kebobolan sama persis: 95-95.
Selain itu, catatan memalukan hadir di ajang Carabao Cup. Untuk pertama kalinya dalam sejarah 147 tahun klub, Manchester United disingkirkan oleh tim kasta keempat, Grimsby Town. Hasil tersebut mempertegas betapa lemahnya mental dan kualitas tim di bawah kendalinya.
Semua indikator statistik menunjukkan pola yang sama: United kehilangan arah. Skema 3-4-3 andalan Amorim justru menjadi bumerang, menciptakan kebingungan di lini belakang dan minim produktivitas di depan.
Dilema Manajemen: Bertahan atau Mengganti?
Meski hasil di lapangan terus memburuk, petinggi klub seperti CEO Omar Berrada dan direktur sepak bola Jason Wilcox masih memberikan dukungan. Namun, keputusan mereka lebih didasari pada situasi pasar pelatih ketimbang keyakinan pada Amorim.
Sumber internal menyebut, tak adanya kandidat pengganti yang benar-benar siap, seperti Xavi, Gareth Southgate, atau Oliver Glasner, membuat United belum berani mengambil langkah tegas. Mereka masih berharap waktu bisa mengubah keadaan.
Namun, dengan hasil yang terus merosot, kesabaran manajemen jelas memiliki batas. Setiap pertandingan kini menjadi ujian hidup-mati bagi Amorim untuk mempertahankan pekerjaannya.
Faktor Non-Teknis yang Membebani
Selain masalah taktik dan hasil, Amorim juga menghadapi tekanan besar dari luar lapangan. Gelombang pemangkasan karyawan di Old Trafford mengganggu moral tim, dan atmosfer negatif ini turut berpengaruh pada performa skuad.
Amorim juga mewarisi masalah dari era sebelumnya. Beberapa rekrutan di masa lalu, seperti Joshua Zirkzee dan Manuel Ugarte, dinilai tidak memenuhi standar klub. Ironisnya, Scott McTominay justru dilepas ke Napoli dengan harga lebih murah dari biaya perekrutan Ugarte.
Di posisi penjaga gawang, Amorim sebenarnya ingin mendatangkan sosok berpengalaman seperti Gianluigi Donnarumma atau Emiliano Martinez. Namun, keterbatasan dana membuat United harus puas dengan kiper muda Senne Lammens dari Royal Antwer...