
DEINDUSTRIALISASI dini dialami oleh Indonesia pascareformasi terjadi. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia menurun dari 32% (2002) menjadi 18,98% (BPS, 2024). Meskipun ekonomi tumbuh di atas rerata negara berkembang lain di Asia, deindustrialisasi tersebut menjadikan Indonesia terancam middle income trap (MIT). Meningkatnya, harga komoditas menjadikan kita terlena sehingga dutch disease yang menyebabkan deindustrialisasi terjadi.
Krisis sosial yang dialami oleh beberapa negara akhir-akhir ini sebagian besar diakibatkan kurang tersedianya lapangan pekerjaan. Industrilah yang mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi dalam jumlah besar. Reindustrialisasi menjadi prioritas bagi pemerintah saat ini untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Hanya 20 negara yang menguasai +80% industri bernilai tambah tinggi menurut data OECD (2018) dengan kondisi yang tidak jauh berbeda saat ini. Meskipun Indonesia pernah hampir berhasil dengan industri pesawat terbangnya, krisis ekonomi 1998 dan rekomendasi IMF menjadikan kita harus memulai dari awal lagi.
Awal Agustus lalu, Presiden Prabowo Subianto melakukan soft-launching delapan industri strategis yang perlu dibangun Indonesia pada event KSTI 2025 di ITB. Industri strategis tersebut memiliki nilai tambah dan tentunya potensi pertumbuhan ekonomi tinggi. Bagaimana reindustrialisasi tersebut dapat diwujudkan?
KEBIJAKAN INDUSTRI
Penetapan delapan industri strategis yang mendukung Astacita merupakan upaya pemerintah untuk membentuk struktur ekonomi baru--kebijakan industri (Agarwal, 2023). Tidak cukup hanya dengan menetapkan, tapi juga perlu disertai subsidi, insentif pajak, pengembangan infrastruktur, regulasi yang melindungi, dan dukungan terhadap R&D agar industri strategis tersebut dapat tumbuh dan berkembang.
Contoh sukses keberhasilan kebijakan industri yang menumbuhkan perekonomian secara masif ialah Made in China 2025. Diluncurkan pada Mei 10 tahun lalu oleh Premier Li Keqiang, program itu berhasil merestrukturisasi ekonomi Tiongkok untuk berbasis teknologi yang bernilai tambah tinggi. Dalam Economic Complexity Index oleh Growth Lab di Harvard, posisi Tiongkok meningkat dari 24 (2015) menjadi 16 dunia (2023), mengungguli Italia dan Israel. Dalam kurun waktu yang sama, GDP per kapita juga meningkat 60,52% menjadi US$13,122 pada tahun lalu (Bank Dunia, 2025).
Roadmap dari Made in China 2025 Major Technical Roadmap (dikenal Green Book) menjelaskan tahapan yang akan (saat ini telah) dilakukan dengan anggaran US$300 miliar untuk 10 tahun agar Tiongkok menguasai 10 industri teknologi tinggi.
Pertama, membangun kapabilitas inovasi dengan domestikasi R&D melalui sinergi universitas, Chinese Academy of Sciences (CAS), dan industri. Hasilnya, peringkatnya meningkat dari 29 (2015) ke 10 dunia dalam Global Innovation Index 2025.
Kedua, substitusi ketergantungan akan teknologi luar negeri melalui domestikasi R&D dan paten. Usahanya termasuk dengan mengakuisisi perusahaan teknologi tinggi di seluruh dunia, khususnya AS. Council of Foreign Relations menyatakan lebih dari US$100 miliar penanaman modal dan akuisisi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok (2013-2018).
Fakta yang akhirnya mendorong kongres harus setuju atas akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan asing (khususnya Tiongkok) guna mencegah pembelian besar-besaran teknologi tinggi AS.
Ketiga, menguasai pasar domestik dan global dengan target yang jelas. Misalnya, untuk medical devices ditarget 71% (2025). Arahan yang jelas diberikan bagi lembaga kesehatan dan produsen untuk terlibat dalam riset, inovasi, dan insentif bagi penggunaan produk domestik yang dikembangkan bersama universitas dan CAS. Keharusan menggunakan produk domestik menjadi jaminan bagi produsen melalui captive market untuk investasi yang ditanamkan.
Keempat, konsolidasi BUMN untuk menyukseskan program itu. BUMN yang beririsan dipaksa restrukturisasi dan merger guna memperoleh teknologi dan skala ekonomi. Misalnya, Tsinghua Unigroup mengakuisisi dua dari empat perusahaan terbesar semikonduktor dan menjadikannya satu entitas besar. Konsolidasi itu telah dilakukan untuk menyukseskan program Made in China 2025.
PERMASALAHAN DALAM NEGERI
Data BPS (2025) menunjukkan lima besar kontributor produk domestik bruto (PDB) kita adalah industri manufaktur (18,98%); perdagangan (13,07%); pertanian, kehutanan, dan perikanan (12,61%); konstruksi (10,09%); serta pertambangan (9,15%).
Salah satu industri strategis yang ditetapkan pemerintah Indonesia adalah kesehatan. Kontribusi jasa kesehatan masih 1,26% pada PDB dengan nilai Rp278,22 triliun. Tentu jauh berbeda bila dibandingkan dengan kontribusi sektor kesehatan di Amerika Serikat yang mencapai 17,60% atau Tiongkok yang mencapai 6,57%.
Dapatlah dimaklumi karena semakin maju negara, kepedulian akan kesehatan di antara penduduknya semakin meningkat. Tentunya industri ini di masa datang memiliki ruang untuk tumbuh semakin besar mengingat Indonesia memiliki penduduk terbesar ke-4 dunia.
Sayangnya, pasar domestik alat kesehatan masih didominasi impor dan nilainya Rp71,88 triliun pada tahun lalu. Lebih dari setengahnya dipasok oleh Tiongkok, diikuti Singapura dan Jepang. Untuk bahan baku obat, lebih dari 90% juga impor. Hal inilah yang menyebabkan inflasi medis terjadi di Indonesia hingga 10,1% tahun lalu (OJK, 2024). Jauh di atas rerata inflasi global.
Tidaklah mengherankan bila biaya jasa layanan kesehatan yang harus dibayar oleh BPJS Kesehatan semakin meningkat tiap tahunnya. Direktur Utama BPJS Kesehatan menyampaikan delapan penyakit dengan biaya tinggi yang ditanggung: jantung, kanker, strok, gagal ginjal, haemophilia, thalassemia, leukimia, dan sirosis hepatis.
Khusus gagal ginjal, terdapat 1.448.406 kasus yang dibiayai oleh BPJS Kesehatan dengan pengeluaran mencapai Rp2,76 triliun. Biaya perawatan cuci darah bisa mencapai sekitar Rp420 juta per tahun. Biaya lebih efektif untuk jangka panjang bila menggunakan transplantasi ginjal, dengan biaya Rp300-Rp350 juta.
Data Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia mencapai 0,38. Terdapat 3,8 penderita dari 1.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk saat ini, diperkirakan penderita gagal ginjal kronik mencapai 1.089.436 jiwa.
Bila semuanya menjalani perawatan cuci darah di atas, perawatan gagal ginjal di Indonesia akan sebesar Rp457,6 triliun. Jumlah tersebut akan berkurang bila setengah dari jumlah penderitanya menjalani transplantasi ginjal yang juga memiliki nilai fantastis sebesar Rp190,7 triliun.
POTENSI REINDUSTRIALISASI
Analisis di atas memberikan ilustrasi bahwa penetapan delapan industri strategis di Indonesia harus dilengkapi dengan roadmap yang lebih spesifik agar program reindustrialisasi teroperasionalkan. Selama ini, roadmap hanya berhenti di level 1, maksimal di level 2. Ilustrasi di atas menunjukkan industri kesehatan sebagai level 1. Level 2 bisa diklasifikasikan berdasarkan delapan penyakit berbiaya tinggi yang ditanggung oleh BPJS. Adapun Level 3-nya berupa industri obat-obatan, mesin hemodialisis, transplantasi ginjal, dan tenaga medis yang diperlukan.
Dalam konteks reindustrialisasi, harga rerata mesin hemodialisis saat ini berkisar antara Rp200-Rp500 juta. Tiap hari, satu mesin hemodialisis mampu menangani antara 3-5 pasien cuci darah. Dengan jumlah penderita gagal ginjal kronik di Indonesia seperti di atas, bila frekuensi pasien untuk cuci darah tiap minggu, akan terdapat kebutuhan 4.190-6.984 unit mesin hemodialisis.
Kebutuhan tersebut setara dengan nilai industri mesin hemodialisis antara Rp838 miliar hingga Rp3,49 triliun. Bila disertakan filter dialyzer, larutan dialisat dan bahan lain yang dibutuhkan, nilai industri itu akan semakin besar.
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI, 2025) menunjukkan terdapat 6.042 spesialis penyakit dalam dengan 1.266 konsultan pada 11 bidang ilmu penyakit dalam, salah satunya ginjal hipertensi (Subsp GH (K)). Jumlah yang tentunya perlu ditingkatkan mengingat jumlah pasien gagal ginjal kronik di Indonesia yang cukup besar. Tentunya keberadaan tenaga kesehatan diperlukan agar ekosistem industri kesehatan, khususnya yang terkait dengan penyakit gagal ginjal, tercukupi.
Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 50 ribu publikasi peneliti Indonesia di bidang kedokteran (Scival, 2025). Jumlah publikasi dengan topik riset Chronic Kidney Disease and Patient Care Dynamics hanya berjuml...