
KOMISIONER PBB Navi Pillay menilai rencana 20 poin Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk Gaza cacat secara hukum dan moral karena mengecualikan rakyat Palestina dari pemerintahan transisi.
Dia juga menegaskan bahwa seruan gencatan senjata tidak mengubah temuan PBB yang menyatakan Israel bertanggung jawab atas tindakan genosida.
Pekan lalu, Trump mengumumkan rencana yang disebutnya sebagai inisiatif perdamaian bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Rencana tersebut menekankan keamanan Israel dan memberi peran utama bagi Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam mengawasi pemerintahan transisi di Gaza.
Dalam wawancara dengan Middle East Eye pada Senin (6/10), Pillay, hakim asal Afrika Selatan yang memimpin Komisi Penyelidikan PBB mengenai Gaza, mengatakan bahwa hasil investigasi lembaganya tetap berlaku.
"Israel telah melakukan genosida dan terus melakukannya," katanya kepada podcast Expert Witness.
"Hanya karena ada seruan untuk gencatan senjata sekarang, bukan berarti temuan genosida akan hilang," tambahnya.
Pillay, 84 tahun, dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam hukum pidana internasional. Dia pernah menjabat sebagai hakim dan presiden di Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR), menghasilkan vonis genosida pertama dalam sejarah serta menjadi salah satu hakim pendiri Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Saat ini, dia juga menjabat sebagai hakim ad hoc di Mahkamah Internasional (ICJ).
Melanggar Hukum Internasional
Pillay menegaskan bahwa rencana Trump bertentangan dengan pendapat penasihat ICJ yang dikeluarkan pada 19 Juli 2024, yang menyatakan pendudukan Israel di Gaza dan Tepi Barat melanggar hukum internasional dan harus diakhiri tanpa syarat.
Dia juga mengingatkan bahwa Israel belum mematuhi Resolusi Majelis Umum PBB pada 18 September 2024 yang menuntut pelaksanaan keputusan ICJ dalam waktu satu tahun.
"Rencana ini bertentangan langsung dengan deklarasi Mahkamah Internasional," ujarnya.
Pillay mengecam pengecualian warga Palestina dari pemerintahan transisi yang diusulkan dalam rencana tersebut.
"Hal utama adalah bahwa warga Palestina bukan bagian dari ini. Mereka tidak hanya harus menjadi bagian, mereka juga harus menjadi pengendali karena mereka mampu memerintah diri mereka sendiri," tegasnya.
Membatasi Kedaulatan Palestina
Sejak pengumuman rencana itu, militer Israel terus melancarkan serangan ke Gaza, menewaskan lebih dari seratus orang. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 67.000 warga Palestina telah terbunuh dan sebagian besar infrastruktur Gaza hancur total, memaksa jutaan orang mengungsi.
"Rencana tersebut memungkinkan Israel mempertahankan kendali keamanan yang signifikan atas Gaza. Ini akan membatasi kemerdekaan Gaza dan pada akhirnya kedaulatan rakyat Palestina," kata Pillay kepada MEE.
"Rencana ini harus melibatkan rakyat Palestina. Tidak ada jalan lain dan seharusnya tidak ada jalan lain," sebutnya.
Sebanyak 36 pakar PBB juga mengkritik rencana Trump karena gagal menjamin berakhirnya pendudukan Israel serta menolak prinsip hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina yang diatur dalam hukum internasional.
Komisi yang dipimpin Pillay bersama Chris Sidoti dari Australia dan Miloon Kothari, mantan Pelapor Khusus PBB sebelumnya menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan empat dari lima tindakan yang dilarang oleh Konvensi Genosida 1948, dengan niat untuk menghancurkan rakyat Palestina di Gaza sebagai sebuah kelompok.
Laporan tersebut dinilai sebagai pendapat hukum paling otoritatif dari lembaga PBB sejauh ini dan menjadi dasar penting bagi kasus genosida Israel yang saat ini tengah diproses di Mahkamah Internasional (ICJ) atas gugatan Afrika Selatan. (MEE/H-2)