Persoalan konkret dalam dunia pendidikan Indonesia tidak berhenti pada sekadar kelemahan kualitas pengajaran, melainkan juga pada orientasi yang cenderung sempit dan terbatas. Praktik yang terlalu menekankan hafalan, ujian atau assessment, dan capaian angka membuat proses belajar kehilangan makna sesungguhnya.
Murid di banyak tempat hanya diarahkan mengejar standar formal terukur secara kuantitatif, sementara aspek lain seperti pengembangan kepekaan sosial, keberanian mengajukan pertanyaan, serta kemampuan merumuskan gagasan baru kurang dihidupkan. Hal demikian melahirkan generasi yang mungkin unggul secara teknis, tetapi rapuh dalam menghadapi tantangan yang menuntut kebijaksanaan.
Guru, yang seharusnya menjadi motor penggerak transformasi intelektual, justru sering terjebak dalam tekanan administratif. Padatnya kurikulum, tuntutan laporan, serta standar evaluasi yang kaku membuat mereka kehilangan ruang dalam mengembangkan kreativitas pedagogis.
Waktu berdialog dengan murid dan membangun pembelajaran berbasis refleksi sering terkikis oleh kewajiban administratif. Akibatnya, praktik mengajar lebih menyerupai rutinitas birokratis ketimbang proses pencerahan intelektual.
Di sisi lain, ketimpangan fasilitas pendidikan semakin memperdalam jurang kualitas berpikir di kalangan murid. Di sekolah-sekolah tertentu, akses terhadap bahan bacaan, teknologi, maupun sarana eksplorasi ide masih terbatas, sehingga pengembangan daya imajinasi terhambat.
Di ruang lain, budaya belajar instan yang lebih mengutamakan hasil cepat daripada proses mendalam ikut melanggengkan pola pikir pragmatis. Kesenjangan ini menjadikan pendidikan tidak bergerak sebagai wahana pembebasan, melainkan sekadar sarana mobilitas sosial yang terbatas.
Fenomena yang lebih mengkhawatirkan muncul di ranah publik. Perdebatan yang muncul di media sosial maupun ruang politik sering kali miskin argumen dan mudah terjebak dalam polarisasi dangkal. Ironinya, situasi ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di ruang kelas yang justru seharusnya menjadi laboratorium intelektual.
Alih-alih menjadi tempat latihan bernalar, sekolah sering menuntut kepatuhan mutlak tanpa ruang untuk mempertanyakan. Kontradiksi tersebut berpotensi besar menghasilkan jurang antara kebutuhan bangsa akan warganya yang kritis dan pola pendidikan yang masih membatasi kebebasan berpikir.
Pada akhirnya, membangun bangsa yang berpikir tidak dapat dilakukan hanya dengan memperbaiki kurikulum secara teknis, melainkan dengan membentuk kultur belajar yang menempatkan rasionalitas, refleksi moral, dan kemandirian berpikir sebagai fondasi.
Immanuel Kant (1900) menekankan bahwa pendidikan tidak boleh semata-mata diarahkan untuk menyesuaikan anak dengan kondisi dunia saat ini, melainkan harus diproyeksikan pada masa depan yang lebih baik. Menurutnya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang selaras dengan ide kemanusiaan dan keseluruhan tujuan hidup manusia.
Kesalahan umum para orang tua, kata Kant, adalah mendidik anak agar sekadar bertahan dalam keadaan dunia yang buruk, bukan mempersiapkan mereka untuk menghasilkan kondisi lebih baik di masa mendatang. Prinsip ini memiliki arti penting karena pendidikan visioner akan melahirkan generasi yang bukan hanya beradaptasi dengan realitas, tetapi juga mampu mengubah dan memperbaiki sesuai dengan potensi luhur manusia.
Pendidikan seharusnya berani melampaui batas empirisme sempit, agar murid tidak hanya menguasai data dan fakta, tetapi juga mampu mengolahnya dalam kerangka berpikir lebih luas. Bangsa yang berkelanjutan lahir dari individu-individu yang berani berpikir otonom, mampu menimbang dengan prinsip, dan tidak mudah diguncang oleh perubahan zaman.
Untuk mengatasi krisis ini, kita dapat bercermin pada gagasan pendidikan transendental Immanuel Kant. Menurut Kant, pendidikan bukan sekadar proses empiris mengisi pikiran dengan fakta (Kant, 1781/1998). Lebih dari itu, pendidikan harus melatih kapasitas rasional dan moral manusia yang bersifat apriori—kapasitas yang sudah ada dalam diri manusia sejak lahir, namun perlu diasah.
Tujuan pelatihan, yakni membentuk individu otonom secara moral dan mampu bertindak berdasarkan imperatif kategoris—prinsip moral universal yang lahir dari akal budi praktisnya sendiri, bukan dari dorongan eksternal atau kepentingan pribadi (Kant, 1785/2002).
Dalam kerangka itu, pendidikan tidak lagi berorientasi pada pencapaian akademis semata, melainkan pada pembentukan karakter kuat dan berprinsip. Kurikulum tidak lagi hanya mengajarkan apa yang harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara berpikir secara logis dan terstruktur.