Budi daya udang vannamei telah menjelma menjadi salah satu penopang ekonomi pesisir Indonesia. Dengan nilai ekspor yang terus meningkat, komoditas ini sering disebut sebagai "emas putih" dari tambak. Namun, di balik kilauannya, tambak udang intensif menyimpan tantangan serius: terdapat limbah organik dan nutrien berlebih yang berpotensi merusak ekosistem perairan pesisir.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa limbah tambak yang kaya nitrogen dan fosfor dapat memicu eutrofikasi, meningkatkan kekeruhan, memicu ledakan plankton (algae bloom), bahkan menyebabkan hipoksia di perairan sekitar (Boyd & McNevin, 2015; Zhang et al., 2020). Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada hilangnya biodiversitas bentik dan menurunkan kualitas lingkungan pesisir yang menjadi penopang perikanan tangkap tradisional.
Pertanyaan yang muncul kemudian: Apakah mungkin tambak udang tetap produktif sekaligus ramah lingkungan? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa mungkin jika praktik budi daya disertai kesadaran mitigasi limbah yang tepat.
Problem Lingkungan dari Limbah Tambak
Tambak intensif modern memang dirancang untuk menghasilkan udang dengan produktivitas tinggi. Namun, setiap siklus budidaya menyisakan residu: Sisa pakan tidak termakan yang mengendap di dasar kolam; feses udang yang kaya bahan organik; penggunaan bahan kimiawi untuk sterilisasi air, yang jika tidak terkontrol, bisa berdampak pada biota non-target.
Limbah-limbah ini, bila langsung dibuang ke lingkungan, akan menambah beban organik pesisir. Studi di Asia Tenggara menunjukkan bahwa lokasi dengan konsentrasi tambak tinggi rentan mengalami degradasi kualitas air laut dan hilangnya keanekaragaman hayati bentik (Naylor et al., 2021).
Mitigasi Limbah: Dari Kolam hingga Saluran Pembuangan
Untuk mengurangi beban organik, beberapa pendekatan teknis bisa diterapkan di level tambak. Empat di antaranya dianggap paling praktis dan aplikatif di lapangan. Pertama, pengolahan air limbah (waste-water treatment). Tambak yang berorientasi berkelanjutan kini dilengkapi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana. Prinsipnya adalah menahan limbah sebelum masuk ke perairan umum, memberi waktu bagi partikel organik untuk mengendap, atau diurai oleh mikroba. Sistem ini bisa berupa kolam sedimentasi, kolam oksidasi, atau kombinasi keduanya.
Penelitian oleh Ferreira et al. (2022) menunjukkan bahwa kolam pengendapan dengan vegetasi mampu mengurangi hingga 70% total suspended solids (TSS) dan menurunkan konsentrasi nitrogen hingga 50%.
Kedua, biofilter dan wetland buatan. Biofilter menggunakan tanaman air (seperti mangrove kecil atau rumput rawa), kerikil, maupun material berpori untuk menyaring nutrien berlebih. Konsep wetland buatan (constructed wetland) juga mulai banyak diadopsi. Selain menjadi filter alami, metode ini memberi manfaat tambahan: habitat untuk burung air, serangga, dan organisme kecil lain. Studi di Vietnam menunjukkan bahwa integrasi tambak dengan jalur biofilter vegetatif dapat menekan beban nitrogen hingga 60% dan fosfor hingga 45% (Nguyen et al., 2021).
Ketiga, penggunaan probiotik. Penerapan probiotik dalam tambak kini menjadi salah satu solusi populer. Mikroorganisme probiotik bekerja dengan cara mempercepat dekomposisi bahan organik, menstabilkan komunitas plankton, dan menekan dominasi mikroba patogen. Selain memperbaiki kualitas air, probiotik j...