
DIREKTUR Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menegaskan, lemahnya penegakan hukum menjadi faktor utama yang membuat praktik tambang timah ilegal terus berlangsung dalam waktu panjang.
Meskipun aktivitas ini telah merugikan negara dan menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang signifikan, penindakan terhadap pelaku seringkali dianggap tidak konsisten.
"Kenapa praktik ilegal ini bisa terjadi cukup lama? Karena masalah penegakan hukum yang tidak dijalankan baik dan juga melibatkan banyak pelaku, termasuk oknum pejabat yang menjadi pendukung perusahaan-perusahaan besar," kata Bisman kepada Media Indonesia, Senin (6/10).
Ia menyebut masalah tambang timah ilegal telah berlangsung lama menimbulkan berbagai persoalan yang kompleks. Dari sisi sosial, banyak masyarakat lokal yang terlibat langsung dalam aktivitas tambang ilegal, sehingga menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya penanganannya.
Dari sisi ekonomi, industri tambang timah menjadi salah satu sektor yang sangat memengaruhi perekonomian daerah, sehingga upaya pemberantasan praktik ilegal harus memperhitungkan dampak terhadap mata pencaharian masyarakat.
Bisman menyatakan, langkah konkret yang diambil seperti menyita smelter perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan praktik ilegal. Tindakan ini tidak hanya menghentikan aktivitas ilegal, tetapi juga memungkinkan pengelolaan smelter oleh BUMN secara lebih optimal. Sehingga, memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara dan masyarakat.
Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menyita enam unit smelter hasil penindakan kasus korupsi dan penambangan timah di kawasan PT Timah Tbk di Bangka. Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp 300 triliun. Kini smelter-smelter timah itu diberikan langsung ke PT Timah sebagai perusahaan pelat merah pengelola timah.
"Smelter yang disita tersebut bagian dari upaya paksa yang cukup efektif menekan praktik ilegal tersebut," pungkas Bisman. (H-3)