Liputan6.com, Jakarta Suasana di Gtech Community Stadium pada Sabtu malam mencerminkan kesuraman Manchester United. Diiringi lantunan “Hey Jude”, Bruno Fernandes berdiri terpaku, kepala tertunduk, seolah mencari tenaga untuk sekadar memberi tepuk tangan kepada para suporter.
Skuad United mendatangi tribun tandang dengan langkah berat, menawarkan tepuk tangan yang lebih menyerupai permintaan maaf usai kalah 1-3 dari Brentford.
Ini bukan rutinitas baru. Dalam delapan laga tandang terakhir di Premier League, United hanya meraih dua poin. Setelah kekalahan dari Manchester City dua pekan lalu, kini mereka tumbang dari Brentford.
Dan bulan depan, mereka sudah ditunggu Liverpool, Nottingham Forest, Tottenham, dan Crystal Palace. Pertanyaannya: berapa banyak penderitaan lagi yang menanti?
Kemenangan atas Chelsea sepekan lalu sempat memberi secercah harapan. Tapi harapan itu segera padam. Sejak Ruben Amorim datang 10 bulan lalu, United hanya menang sembilan kali dari 33 laga Premier League.
Dalam hitungan sederhana: mereka lebih sering kalah dua kali lipat dibanding menang.
Satu Langkah Maju, Dua Langkah Mundur
Dalam konferensi pers usai laga, Amorim ditanya apakah ini kasus “satu langkah maju, satu langkah mundur”. Tapi kenyataannya lebih buruk: satu langkah maju, dua langkah mundur.
Setiap kemenangan kecil selalu disusul kekalahan yang menohok. Optimisme yang lahir dari hasil atas Burnley atau Chelsea lenyap dalam sekejap saat dikalahkan Brentford dengan cara memalukan.
Memang ada peningkatan performa dibanding musim lalu, namun peningkatan itu hanya cukup membawa United ke level tim papan tengah.
Statistik expected goals (xG) mungkin memberi kesan positif, tapi performa meyakinkan masih jarang muncul. Seperti deja vu, situasi ini mengulang musim lalu di era Erik ten Hag: start lambat, harapan palsu, lalu kejatuhan.
Setelah enam laga musim ini, United baru mengumpulkan tujuh poin, sama persis dengan torehan Ten Hag sebelum dipecat.
Amorim mungkin masih aman untuk saat ini, tapi kesabaran klub tak akan bertahan selamanya bila grafik performa tak kunjung naik.
Taktik Tak Jalan, Identitas Tak Jelas
Satu hal yang mengkhawatirkan dari kekalahan ini adalah betapa United terlihat bermain dengan gaya lawan, bukan gaya sendiri. Amorim mengakui hal itu.
“Kami memainkan permainan Brentford, bukan permainan kami sendiri,” ujarnya. Ia benar, tapi pertanyaan pentingnya: apa sebenarnya permainan United?
Amorim tetap bertahan dengan skema 3-4-3, tapi tidak ada kontrol di lini tengah. Kombinasi Manuel Ugarte dan Fernandes gagal menguasai bola.
Ketika Brentford mengeksploitasi keunggulan jumlah di tengah, United tampak kebingungan. Keputusan tidak mendatangkan gelandang baru musim panas lalu semakin tampak sebagai kesalahan fatal.
Pertahanan pun tak lebih baik. Gol pertama Brentford berawal dari kehilangan bola di depan, lalu empat sentuhan sederhana membuat Igor Thiago mencetak gol.
Harry Maguire salah langkah, meninggalkan ruang kosong yang langsung dihukum lawan. Gol kedua pun tak jauh beda: miskomunikasi, salah posisi, dan kesalahan dasar yang berulang.
Serangan Mandek, Tidak Ada Tekanan Balik
United juga tumpul di depan. Bryan Mbeumo, Matheus Cunha, dan Benjamin Sesko tampil mengecewakan.
Sesko memang mencetak gol perdananya di Premier League, tapi prosesnya kacau, umpan yang salah arah, kontrol tak rapi, dua kali gagal menembak sebelum akhirnya gol ketiga beruntung. Tidak ada aliran serangan yang terencana, tidak ada tekanan yang berarti.
Lebih dari satu jam tersisa setelah gol Sesko, tapi United tak mampu menciptakan ancaman serius. Tak ada tanda-tanda momentum atau tekanan yang biasanya jadi ciri khas tim besar. Amorim tetap terpaku pada formasi dan minim opsi perubahan dari bangku cadangan.
Bahkan insiden kontroversial, seperti pelanggaran Nathan Collins pada Mbeumo yang hanya diganjar kartu kuning, atau penalti Bruno Fernandes yang gagal, tak bisa dijadikan alasan. United kalah bukan karena wasit, tapi karena mereka sendiri tak cukup baik.
Seberapa Lama Kesabaran Ini Bertahan?
Amorim masih mendapat dukungan dari klub dan suporter, tapi sejarah menunjukkan bahwa dukungan tanpa hasil tak akan bertahan lama.
Catatan poin Amorim (34 dari 33 laga) hampir identik dengan Graham Potter di West Ham, yang baru saja dipecat. Jika klub sebesar West Ham merasa hasil itu tak cukup, mengapa United bisa menerima lebih buruk?
Performa yang tak stabil, identitas permainan yang kabur, dan hasil yang mengecewakan mulai mengikis kepercayaan. Amorim datang membawa janji pembaruan, tapi sejauh ini, United tampak berjalan di tempat.
Jika tren ini berlanjut, pertanyaan besar bukan lagi “kapan United membaik?”, melainkan “berapa lama Amorim bisa bertahan?”