World Bank atau Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi (PE) Indonesia menjadi 4,8 persen pada 2025. Ini tercantum dalam laporan East Asia and the Pacific Economic Update (EAP) edisi Oktober 2025.
Sebelumnya, lembaga tersebut memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,7 persen.
Dalam laporannya, Bank Dunia menilai bahwa perekonomian di kawasan Asia Timur dan Pasifik masih tumbuh relatif kuat. Namun, berbagai kebijakan yang diterapkan untuk menjaga momentum pertumbuhan saat ini belum tentu mampu menjadi penopang di masa mendatang.
Lembaga tersebut juga menyoroti bahwa baik China maupun Indonesia mencatat pertumbuhan sekitar 5 persen per tahun, lebih tinggi dari estimasi potensi pertumbuhan mereka, berkat dukungan kebijakan pemerintah yang kuat.
Laporan tersebut mencatat bahwa di China, defisit fiskal diproyeksikan meningkat dari 4,5 persen pada 2019 menjadi 8,1 persen pada 2025, sementara utang publik diperkirakan mencapai 70,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun ini.
“Sementara di Indonesia, persoalannya bukan pada besaran defisit, melainkan pada arah penggunaan belanja pemerintah yang dinilai kurang tepat sasaran. Defisit anggaran sendiri diperkirakan tetap berada dalam batas aturan fiskal nasional,” tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Rabu (8/10).
Di Indonesia, reformasi dinilai perlu difokuskan pada penghapusan hambatan non-tarif, khususnya di sektor jasa, serta penyederhanaan perizinan dan deregulasi usaha. Langkah-langkah tersebut diyakini dapat memperluas potensi pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih produktif.
Reformasi hingga Pengurangan BUMN Mesti Dilakukan
Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang berupaya mendorong pertumbuhan ekonominya melampaui potensi alami. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai bentuk dukungan pemerintah, seperti pemberian subsidi untuk pangan, transportasi, dan energi, guna menutup kesenjangan antara pertumbuhan aktual dan target yang diharapkan.
Chief Economist of the East and Pacific Region World Bank, Aaditya Mattoo, menilai bahwa fokus utama seharusnya tidak hanya pada kebijakan dukungan jangka pendek, tetapi juga pada pelaksanaan reformasi struktural yang lebih mendalam. Reformasi semacam ini dinilai penting untuk menciptakan dinamika baru dalam perekonomian dan membuka lebih banyak lapangan kerja yang produktif.
“Indonesia memang telah menapaki jalur reformasi, terlihat dari disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang ambisius. Seperti halnya di banyak negara di kawasan ini, masalah utamanya sering kali bukan pada isi undang-undangnya, melainkan pada lemahnya implementasi di lapangan,” kata Aaditya dalam media briefing yang dilaksanakan secara daring, dikutip Rabu (8/10).
Peningkatan arus investasi juga menjadi salah satu tantangan utama yang perlu diatasi. Aaditya pun menyinggung pemerintah RI yang telah membentuk BPI Danantara untuk menarik investasi yang lebih terarah, serta menyiapkan kebijakan moneter yang lebih longgar guna mempermudah aliran modal.
“Selain itu, terdapat potensi besar untuk mengembangkan investasi di sektor hilirisasi dan kawasan ekonomi khusus,” tambah Aaditya.
Lebih lanjut, Aaditya turut mendorong Indonesia untuk meningkatkan keterbukaan terhadap perdagangan global agar tidak semakin tertinggal dalam jaringan rantai pasok internasional.
Bank Dunia menilai kebijakan perdagangan Indonesia yang cenderung protektif selama ini telah mengurangi peran negara tersebut dalam sektor manufaktur maupun rantai pasok global.<...