
WAKIL Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menyampaikan, investasi di sektor energi terbarukan menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
"Tren peningkatan investasi terbarukan ini dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, tekanan perubahan iklim dan target-target pengurangan emisi," kata Mari dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 yang digelar Institute Essential Services Reform (IESR), Senin (6/10).
Faktor kedua, lanjutnya, akibat gejolak energi global pada 2022 akibat invasi Rusia ke Ukraina. Gejolak itu membuka kesadaran global akan pentingnya ketahanan rantai pasok (supply chain resilience), peningkatan manufaktur baterai, dan daya saing industri.
Menurut Mari, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan berbasis energi fosil jika ingin tetap berdaya saing. Pilihan untuk beralih ke transisi energi bukan lagi soal jika atau kapan, tetapi harus dilakukan sekarang.
"Pilihannya adalah antara melakukan transisi sekarang atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa," ucapnya.
Dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP), lanjut Mari, terdapat beberapa fokus utama. Pertama, keluar dari energi fosil, termasuk penghentian pembangkit batu bara lebih awal dari masa ekonomisnya (coal exit). Katanya, perbedaan utama antara negara maju dan berkembang adalah usia pembangkit batu bara.
Di negara maju, pembangkit berusia 30 tahun-40 tahun dan hampir habis nilai ekonominya, sementara di negara berkembang, usia pembangkit rata-rata 10 tahun-15 tahun, sehingga keluar dari batu bara masih mahal.
Wakil Ketua DEN itu menambahkan, meskipun terjadi peningkatan investasi di energi terbarukan, peningkatan pada infrastruktur jaringan listrik tidak sebanding dengan pertumbuhan kapasitas pembangkit energi terbarukan.
Oleh karena itu, Mari menekankan perlunya prioritas investasi pada jaringan listrik yang mampu mendukung energi terbarukan, termasuk penanganan pasokan energi yang tidak menentu (intermittent delivery). (Ins/E-1)