Liputan6.com, Jakarta Frank Lampard sempat diragukan ketika ditunjuk sebagai manajer Coventry City pada 28 November 2024. Ia datang dalam situasi penuh tekanan, dengan atmosfer ruang ganti yang keruh akibat pemecatan Mark Robins, sosok yang sudah menjadi legenda klub.
Banyak yang menilai kehadiran Lampard hanyalah strategi pencitraan pemilik klub Doug King, bukan solusi nyata untuk mengangkat performa tim.
Namun, keraguan itu kini perlahan sirna. Sepuluh bulan berselang, Coventry menjelma menjadi salah satu tim paling atraktif di Championship.
Lampard bukan hanya menghapus aura negatif di skuad, tetapi juga menghidupkan kembali semangat para pemain hingga membuat The Sky Blues melesat di papan atas.
Dari Zona Nyaman ke Ancaman Nyata
Saat Lampard datang, Coventry terpuruk di peringkat ke-17 klasemen. Meski begitu, musim lalu mereka mampu menutup kompetisi di posisi kelima dan lolos ke play-off, sebelum disingkirkan Sunderland secara dramatis.
Kekalahan itu justru memberi pelajaran berharga. Musim ini, Coventry tampil lebih matang dan konsisten, bahkan belum terkalahkan dalam delapan laga awal serta duduk di peringkat dua klasemen.
Produktivitas gol menjadi senjata utama. Hingga pekan kedelapan, Coventry sudah mencetak 22 gol, delapan lebih banyak dari tim paling subur berikutnya.
Haji Wright tampil tajam dengan delapan gol, Milan van Ewijk jadi raja assist dengan lima umpan, sementara kiper Carl Rushworth menjaga empat nirbobol. Dengan catatan ini, Coventry semakin dianggap sebagai pesaing serius untuk promosi ke Premier League.
Rahasia Sukses: Optimalkan Skuad yang Ada
Berbeda dengan banyak tim yang jor-joran belanja, Lampard justru membuktikan keberhasilan lewat optimalisasi pemain warisan Robins.
Pembelian besar hanya datang pada Januari lalu saat mendatangkan Matt Grimes seharga £4 juta dari Swansea, yang terbukti menjadi motor lini tengah. Selebihnya, kekuatan Coventry bertumpu pada pemain lama yang kini menemukan performa terbaiknya.
Van Ewijk dan Jack Rudoni, yang sempat diincar klub-klub besar, memilih bertahan karena percaya pada proyek Lampard. Victor Torp berkembang menjadi gelandang box-to-box yang komplet, sementara Bobby Thomas dan Liam Kitching jadi tembok kokoh di pertahanan.
Di sektor sayap, kecepatan Tatsuhiro Sakamoto dan Brandon Thomas-Asante menambah variasi serangan.
Filosofi Lampard: Kompak dan Agresif
Lampard menekankan perubahan besar pada organisasi permainan. “Kami kebobolan terlalu banyak gol, tidak cukup kompak, dan kurang agresif. Maka hal pertama yang saya lakukan adalah memperbaiki kerja tim tanpa bola,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Pendekatan ini membuahkan hasil. Coventry kini tercatat sebagai tim dengan jumlah tembakan terbanyak (137) dan peluang on target terbanyak (43) di liga.
Bahkan secara statistik expected goals (xG), Coventry unggul jauh dari para pesaing. Performa ini menandakan bukan hanya serangan yang berkembang, melainkan seluruh aspek permainan.
Dari Cemooh ke Pujian
Bagi Lampard, perjalanan di Coventry juga menjadi ajang pembuktian pribadi. Ia sempat dipandang gagal setelah petualangan kurang manis di Everton dan Chelsea.
Kini, citra itu mulai terhapus seiring keberhasilannya membawa Coventry kembali disegani. Pengalaman pahit di Derby County saat kalah di final play-off 2019 seakan menjadi pengingat baginya.
Jika tren positif ini berlanjut, Lampard dan Coventry bisa menghindari “loteri” play-off dan mengamankan tiket otomatis ke Premier League, sebuah pencapaian yang tak pernah dibayangkan ketika ia pertama kali tiba di klub ini.
Sumber: Mirror