
GUBERNUR Provinsi Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi kembali membuat gebrakan. Kali ini dinamakan Gerakan Poe Ibu yang dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu).
Gerakan itu mengajak ASN, pelajar, dan masyarakat untuk menyisihkan uang Rp1.000/hari. SE ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. SE itu ditandatangani secara elektronik oleh Gubernur Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025.
Selain ditujukan kepada bupati/wali kota se-Jabar, SE juga ditujukan kepala perangkat daerah di lingkungan Pemprov Jabar serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jabar.
Dalam SE itu, gubernur menuliskan bahwa Poe Ibu merupakan sebuah gerakan partisipatif berbasis gotong royong yang mengusung nilai kearifan lokal silih asah, silih asih, silih asuh.
Namun sayangnya, gerakan itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Jabar. Sebagian mendukung, sebagian pasrah, dan ada juga yang ragu.
Pengamat kebijakan publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono, menyatakan Pemprov Jabar mestinya mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang sudah tersedia dari hasil pungutan pajak dan retribusi ketimbang menciptakan pungutan baru.
“Jika ada pungutan tambahan di luar pajak, perlu diperhatikan segmen masyarakat mana yang akan dilibatkan. Perlu pendataan yang mendetail agar dipastikan pungutan tambahan dari gerakan Poe Ibu ini tidak memberi beban yang berlebihan bagi Masyarakat,” jelasnya, Sabtu (4/10).
Kristian berpandangan semestinya solusi yang ditawarkan adalah inovasi program. Artinya, yang secara esensial perlu didorong adalah meningkatkan kemampuan pengelola sektor publik dalam berinovasi. Memang dari sisi upaya membangkitkan rasa kekeluargaan dan gotong-royong, dia sepakat bahwa gerakan ini memiliki niat baik. Hanya saja, pemprov perlu menentukan kelompok sasaran yang berpartisipasi, sehingga hanya mereka yang mampu membayar dan tidak merasa terbebani.
“Ini penting untuk memastikan kesinambungan program ini ke depannya. Jangan sampai sudah diinisiasi sedemikian rupa dan memakan banyak sumberdaya tetapi pelaksanaannya malah berhenti di tengah jalan,” ucapnya.
Melihat potensi ekonominya yang sangat besar, Kristian menyarankan ada mekanisme pengawasan yang ketat agar program itu tidak menjadi celah baru untuk korupsi. Artinya, harus dipersiapkan dengan matang tata kelola yang bersih dan akuntabel agar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
“Namun, karena program ini sifatnya imbauan, maka tidak ada kewajiban bagi warga untuk ikut berpartisipasi, masyarakat berhak memutuskan untuk menunda partisipasinya, sambil menunggu sejauh mana manfaat program memang mendatangkan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan,” tuturnya.
Pendapat Warga
Sementara itu, Kusnan, warga Kota Bandung, mendukung program rereongan itu meski dirinya masih ragu dengan pelaksanaannya. Seribu rupiah mungkin adalah nominal yang kecil. Tapi kalau dikumpulkan dari banyak orang, pasti hasilnya besar. Menurutnya, bisa membantu anak-anak sekolah atau orang sakit yang tidak mampu.
“Namun, program yang baik akan berakhir buruk jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Apakah uangnya benar-benar sampai ke masyarakat atau tidak? Kita sering dengar bantuan tidak tepat sasaran. Jadi mekanismenya harus jelas, transparan dan gampang diakses publik. Kalau itu bisa dibuktikan, pasti banyak orang yang mau ikut,” ucapnya.
Sedangkan, Asep, warga di Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, keberatan dengan program baru tersebut, karena rawan disalahgunakan.
“Saya tidak setuju. Nilai seribu memang kecil, tapi kalau tiap hari dikumpulkan se-Jabar jumlahnya besar sekali. Kalau tidak ada pengawasan ketat, rawan dikorupsi,” tandasnya.
Asep berharap Pemprov Jabar bisa mengkaji kembali kebijakan tersebut, terutama pada mekanisme pengawasannya. Pemerintah harus membuktikan dulu sistem pengawasannya benar-benar kuat. Kalau tidak, iuran itu hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat.
Sebelumnya, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dalam SE menyebut, upaya itu untuk meningkatkan rasa kesetiakawanan sosial serta memperkuat pemenuhan hak dasar di bidang pendidikan dan kesehatan yang masih terkendala keterbatasan anggaran maupun akses.
Rereongan Poe Ibu itu juga menjadi wadah donasi publik resmi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang sifatnya darurat dan mendesak dalam skala terbatas, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Kami mengajak ASN, pelajar, dan masyarakat menyisihkan Rp 1.000 per hari. Kontribusi sederhana ini menjadi wujud solidaritas dan kesukarelawanan sosial, demi membantu kebutuhan darurat Masyarakat,” isi dalam SE tersebut.
Prinsip dasar pelaksanaannya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Gerakan dilaksanakan di semua tingkatan, mulai di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, instansi pemerintah maupun swasta, sekolah dasar hingga menengah, hingga di lingkungan masyarakat RT dan RW.
“Dana Rereongan Poe Ibu dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB dengan format nama rekening Rereongan Poe Ibu, nama instansi/sekolah/unsur masyarakat,” masih dalam SE itu.
Pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pencatatan, dan pelaporan dana dilakukan oleh pengelola setempat yang bertanggung jawab penuh terhadap akuntabilitasnya. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk keperluan darurat di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Pengawasan
Untuk memastikan transparansi, laporan penggunaan dana akan disampaikan kepada publik melalui aplikasi Sapawarga dan Portal Layanan Publik Pemprov Jabar serta dapat diumumkan melalui akun media sosial masing-masing dengan mencantumkan tagar resmi #RereonganPoeIbu #nama instansi/sekolah/unsur masyarakat. Monitoring pelaksanaan gerakan dilakukan sesuai lingkup masing-masing.
Di lingkungan perangkat daerah, pengawasan dilakukan oleh kepala perangkat daerah di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Di instansi pemerintah lainnya dan swasta, pengawasan berada di tangan pimpinan instansi.
Di sekolah, pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama. Sedangkan di lingkungan atau RT/RW, dilaksanakan oleh kepala desa/lurah, serta koordinasi keseluruhannya dilaksanakan oleh camat.
Dedi dalam SE juga mengimbau bupati/wali kota serta kepala perangkat daerah untuk aktif mensosialisasikan dan memfasilitasi pelaksanaan gerakan ini kepada ASN, non-ASN, pelajar, pegawai instansi swasta, serta masyarakat luas. Gerakan itu harus berjalan baik agar benar-benar menjadi kekuatan solidaritas masyarakat Jabar. Dengan rereongan, kita wujudkan Jabar Istimewa. (AN/E-4)