Liputan6.com, Jakarta Musim panas lalu, Inter Milan seperti kehilangan arah. Impian meraih treble yang sempat terbuka lebar di pertengahan April berubah menjadi musim tanpa gelar. Mereka kalah bersaing dari Napoli dalam perebutan Serie A, dan lebih menyakitkan lagi, dihancurkan PSG dengan skor 0-5 di final Liga Champions di Munich — laga terakhir Simone Inzaghi sebagai pelatih. Kekalahan itu meninggalkan luka mendalam di ruang ganti Nerazzurri.
Tak banyak yang menyangka, hanya sebulan setelah tragedi di Munich, Inzaghi memilih menyeberang ke Al Hilal. Kepergiannya menandai akhir sebuah era, dan Inter berada di titik paling rapuh dalam lima tahun terakhir. Namun, di tengah puing-puing kekecewaan itu, seorang figur lama klub bangkit untuk merangkai kembali semangat yang sempat hancur — Cristian Chivu.
Mantan bek tangguh itu datang bukan hanya membawa ide baru, melainkan juga kepercayaan diri yang hilang. Dalam dua bulan pertamanya di musim 2025/26, Chivu berhasil mengembalikan ketenangan dan karakter yang sempat pudar dari Inter. Perlahan, Nerazzurri kembali menemukan identitasnya: disiplin, berani, dan efektif.
Seperti ditulis jurnalis Italia Paolo Condo kepada Corriere della Sera, Chivu telah memberikan dampak psikologis besar pada skuad Inter. “Enam pertandingan sudah cukup untuk memberi kedalaman pada kesan awal musim ini,” ujar Condo. “Apalagi dalam empat tahun terakhir, jeda internasional kedua selalu menampilkan tiga dari empat tim yang akhirnya lolos ke Liga Champions di posisi teratas.”
Kehadiran Chivu dan Identitas Baru Inter
Cristian Chivu mungkin belum banyak bicara di depan media, tetapi caranya membentuk kembali tim berbicara lebih keras dari kata-kata. Ia tidak sekadar meneruskan warisan taktik Inzaghi, melainkan menambahkan nuansa vertikalitas dalam permainan Inter — sesuatu yang diakui Condo sebagai elemen penting sepak bola modern.
“Chivu akhirnya menyelesaikan puzzle yang hancur di Munich,” tulis Condo. “Ia menambahkan vertikalitas, yang dalam sepak bola modern identik dengan hiburan.”
Vertikalitas itu terlihat jelas di lapangan. Inter kini bermain lebih langsung, memanfaatkan kecepatan dan agresivitas di lini depan. Para pemain tumbuh dalam sistem yang menuntut pergerakan cepat dan keputusan instingtif. Hasilnya, Nerazzurri tampak lebih dinamis tanpa kehilangan kestabilan di belakang.
Menatap Roma dan Momentum Kebangkitan
Setelah jeda internasional, Inter akan menghadapi AS Roma — laga yang, menurut Condo, mempertemukan “pertahanan terbaik melawan serangan terbaik” di Serie A sejauh ini. Inter berada di posisi keempat, hanya tertinggal tiga poin dari Roma di puncak klasemen.
Pertandingan di ibu kota itu akan menjadi ujian sesungguhnya bagi Chivu. Bukan hanya soal taktik, tetapi juga soal mentalitas: apakah Inter benar-benar sudah bangkit dari trauma Munich? Dengan atmosfer baru di ruang ganti dan keyakinan yang mulai tumbuh kembali, Chivu tampaknya siap menjawabnya di lapangan.
Di tangan pelatih asal Rumania itu, Inter kembali terlihat seperti tim yang “hidup”. Bukan lagi tim yang tenggelam dalam kekecewaan final Eropa, melainkan kesebelasan yang belajar dari luka dan menjadikannya bahan bakar untuk bangkit. Jika Chivu mampu menjaga arah ini, mungkin potongan puzzle yang hancur di Munich akhirnya tersusun sempurna kembali di San Siro.
Sumber: Corriere della Sera, Sempre Inter