
INDONESIA disebut memiliki 19 proyek pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Proyek-proyek tersebut tidak hanya berfokus pada penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO₂), tetapi juga pada pemanfaatan CO₂ untuk meningkatkan produksi migas (Enhanced Oil Recovery/EOR).
Hal ini disampaikan Executive Director Indonesia CCS Center (ICCSC) Belladonna Troxylon Maulianda dalam The 3rd International & Indonesia Carbon Capture and Storage (IICCS) Forum di Jakarta, Selasa (7/10).
“19 proyek tersebut merupakan kombinasi dari lokasi onshore dan offshore, dengan jenis penyimpanan di depleted reservoir (reservoir minyak dan gas yang habis), maupun akuifer asin (saline aquifer)," ujarnya.
Ia menerangkan proyek-proyek ini melibatkan berbagai pihak, baik perusahaan asing maupun domestik. Beberapa proyek utama CCS yang akan dibangun di Indonesia antara lain Tangguh CCUS (Ubadari Field) di Papua Barat yang dikelola BP. Proyek ini menjadi pionir CCUS di Indonesia dan ditargetkan beroperasi penuh pada 2026.
Abadi CCS di Blok Masela, yang digagas oleh Inpex dan Pertamina di Laut Arafura. Proyek ini diproyeksikan menjadi salah satu sistem CCS bawah laut terbesar di Asia Tenggara.
Lalu, Sukowati, yang digarap oleh Pertamina EP di Jawa Timur. Sakakemang CCS, salah satu proyek besar di Sumatra Selatan yang dioperasikan oleh Repsol, kemudian Asri Basin CCS Hub yang dirancang menjadi klaster penyimpanan karbon bagi kawasan industri di Jawa bagian barat dan selatan, dan lainnya.
“Selain itu, Pupuk Indonesia juga memiliki aspirasi melakukan CCS untuk mendukung produksi amonia,” tambah Belladonna.
Forum IICCS, lanjutnya, menjadi sarana komunikasi antar-pemerintah (G2G) Indonesia dan sejumlah negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Forum ini juga digunakan untuk berbagi progres terkait regulasi, aktivasi pasar karbon, investasi, hingga jumlah proyek CCS yang sedang dikembangkan di Indonesia.
Sementara itu, Director of Indonesia Advocacy & Policy Development di ExxonMobil Low Carbon Solutions, Evan Lukas memperkirakan, potensi penyimpanan karbon di akuifer asin (saline aquifer) Indonesia berkisar 80—200 gigaton CO₂.
Namun hingga kini, belum terealisasi karena industri CCS masih dalam tahap persiapan. Investasi saat ini, ungkapnya, menunggu perizinan serta perjanjian penyimpanan karbon dengan negara lain.
"Jika kita ingin mengembangkan cross-border (lintas batas) CCS dengan Singapura, Korea, atau Jepang, tentu harus ada perjanjian antarnegara terlebih dahulu,” kata Evan.
Ia menambahkan, pasar terbesar untuk CCS saat ini justru datang dari negara-negara asing. Negara-negara tersebut memiliki kebutuhan besar untuk menyimpan karbon, tetapi tidak memiliki kapasitas penyimpanan yang memadai. Dengan kapasitas penyimpanan karbon yang sangat besar, Indonesia menjadi salah satu prospek utama bagi mereka untuk penyimpanan karbon.
"Kita memiliki peluang besar untuk menjadi hub penyimpanan karbon, baik untuk emisi domestik maupun dari luar negeri,” tegasnya.
Evan berharap, dalam waktu dekat Indonesia dapat memulai implementasi CCS dengan memanfaatkan potensi kerja sama internasional yang sudah terjalin, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat penyimpanan karbon regional.
Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menambahkan, pihaknya berkomitmen untuk mempercepat implementasi CCS melalui regulasi yang jelas, insentif investasi, dan koordinasi lintas kementerian. Namun keberhasilan tidak akan tercapai tanpa kolaborasi semua pihak.
"Dengan kerja sama yang kuat, saya yakin Indonesia dapat menjadi hub CCS di Asia Pasifik sekaligus memastikan transisi energi yang berkeadilan dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat," harapnya. (H-3)