Ketika kata “mimpi” terucap, Seketika hati dan pikiran kita tertuju pada impian yang ingin diperjuangkan. Mimpi bukan bayang-bayang semu, melainkan cahaya yang menuntun jiwa menuju makna dan tujuan. Dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan, selama kita masih bersedia membuka buku, harapan belum benar-benar hilang. Di balik setiap halaman, tersimpan kemungkinan-kemungkinan yang menunggu untuk ditemukan. Tak mengherankan jika banyak orang yang tumbuh dalam keterbatasan menjadikan buku sebagai jembatan untuk mengubah nasib.
Dalam kajian sosiologi pendidikan, literasi dipandang sebagai bagian dari modal budaya sebuah kekuatan tak kasat mata yang memungkinkan seseorang melampaui batas-batas sosial dan ekonomi yang membelenggu, sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang akrab dengan buku sesungguhnya sedang memperluas cakrawala berpikir dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih terbuka. Semakin banyak pengetahuan yang mereka serap, semakin luas pula pilihan hidup yang tersedia. Ini bukan sekadar teori. Di Indonesia—di mana ketimpangan pendidikan masih menjadi persoalan serius—buku berperan sebagai penyeimbang.
Buku Mengubah Makna Pendidikan
Esensi dari pendidikan bukan terletak pada kemampuan menghafal, melainkan pada pembentukan cara berpikir kritis dan punya mimpi yang besar. Buku memiliki peran penting untuk membentuk cara pandang dan keyakinan kita. Dalam buku Dream: Seni Mewujudkan Mimpi, Didi Junaedi menekankan bahwa buku adalah sahabat terbaik bagi siapa pun yang memiliki cita-cita. Buku bukan hanya tempat menyimpan ilmu, melainkan juga mentor kehidupan yang menumbuhkan rasa percaya diri. Dari situlah keberanian untuk bermimpi besar tumbuh.
Saya teringat pengalaman saat mengajar di sebuah yayasan yang mendampingi siswa dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Awalnya, salah satu siswa tampak enggan belajar. Namun, segalanya berubah ketika saya mengenalkannya pada novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tokoh Ikal—anak dari keluarga sederhana di Belitung—tetap bersemangat menuntut ilmu meski harus belajar di sekolah yang serba terbatas.
Kisah itu menyentuh hati siswa saya. Ia mulai mau mengerjakan tugas waktu itu dan menyatakan keinginannya menjadi guru. “Aku mau seperti Ikal kak, yang tetap belajar meski hidupnya sulit,” katanya. Kalimat sederhana itu menyimpan kekuatan besar dorongan dari dalam diri yang selama ini tersembunyi.
Motivasi membaca memang beragam. Ada yang lahir dari rasa ingin tahu, terutama pada anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter, guru, atau pemimpin. Ada pula yang dipicu oleh harapan akan masa depan yang lebih baik secara ekonomi. Ini sejalan dengan teori harapan-nilai dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa seseorang akan terdorong belajar jika ia percaya bahwa usahanya bernilai dan akan membuahkan hasil.
Data Kemendikbudristek tahun 2021 mendukung hal ini: siswa yang rutin membaca menunjukkan peningkatan motivasi belajar hingga 28%, berdasarkan survei terhadap 10.000 siswa SD dan SMP (Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 10 No. 2).
Membaca sebagai Modal Kultural
Dari sudut pandang sosiologi pendidikan, membaca bukan hanya soal mengenal huruf dan kata. Ia adalah bagian dari warisan budaya yang tak terlihat—modal kultural yang dibentuk melalui kebiasaan belajar, nilai-nilai, dan cara berpikir. Bourdieu menyebutnya sebagai kekayaan simbolik yang membantu individu memahami dan menavigasi dunia sosialnya.